Sejarah Negara Timor Leste-Sejarah Timor Leste berawal dengan
kedatangan orang Australoid dan Melanesia. Orang dari Portugal
mulai berdagang dengan pulau Timor pada awal abad ke-15 dan menjajahnya pada pertengahan
abad itu juga. Setelah terjadi beberapa bentrokan dengan Belanda,
dibuat perjanjian pada 1859
di mana Portugal memberikan bagian barat pulau itu. Jepang
menguasai Timor Timur dari 1942 sampai 1945, namun setelah mereka kalah dalam Perang Dunia
II Portugal kembali menguasainya.
Pada tahun 1975, ketika terjadi Revolusi Bunga di Portugal
dan Gubernur
terakhir Portugal di Timor Leste, Lemos Pires, tidak
mendapatkan jawaban dari Pemerintah Pusat di Portugal untuk mengirimkan bala
bantuan ke Timor Leste yang sedang terjadi perang
saudara, maka Lemos Pires memerintahkan untuk menarik tentara
Portugis yang sedang bertahan di Timor Leste untuk mengevakuasi ke Pulau
Kambing atau dikenal dengan Pulau Atauro. Setelah itu FRETILIN
menurunkan bendera Portugal dan mendeklarasikan Timor Leste sebagai Republik
Demokratik Timor Leste pada tanggal 28 November 1975. Menurut suatu laporan
resmi dari PBB, selama berkuasa selama 3 bulan ketika terjadi kevakuman
pemerintahan di Timor Leste antara bulan September, Oktober dan November,
Fretilin melakukan pembantaian terhadap sekitar 60.000 penduduk sipil (sebagian
besarnya adalah pendukung faksi integrasi dengan Indonesia). Dalam sebuah
wawancara pada tanggal 5 April 1977 dengan Sydney Morning Herald, Menteri Luar Negeri
Indonesia Adam Malik
mengatakan bahwa "jumlah korban tewas berjumlah 50.000 orang atau mungkin
80.000". Tak lama kemudian, kelompok pro-integrasi mendeklarasikan
integrasi dengan Indonesia pada 30 November 1975 dan kemudian meminta dukungan
Indonesia untuk mengambil alih Timor Leste dari kekuasaan FRETILIN yang
berhaluan Komunis.
Ketika pasukan Indonesia mendarat di Timor
Leste pada tanggal 7 Desember 1975, FRETILIN
didampingi dengan ribuan rakyat mengungsi ke daerah pegunungan untuk untuk
melawan tentara Indonesia. Lebih dari 200.000 orang dari penduduk ini kemudian
mati di hutan karena pemboman dari udara oleh militer Indonesia serta ada yang
mati karena penyakit dan kelaparan. Banyak juga yang mati di kota setelah
menyerahkan diri ke tentara Indonesia, namun Tim Palang Merah
International yang menangani orang-orang ini tidak mampu
menyelamatkan semuanya.
Selain terjadinya korban penduduk sipil di hutan,
terjadi juga pembantaian oleh kelompok radikal FRETILIN di hutan terhadap
kelompok yang lebih moderat. Sehingga banyak juga tokoh-tokoh FRETILIN yang
dibunuh oleh sesama FRETILIN selama di Hutan. Semua cerita ini dikisahkan
kembali oleh orang-orang seperti Francisco Xavier do Amaral, Presiden
Pertama Timor Lesta yang mendeklarasikan kemerdekaan Timor Leste pada tahun
1975. Seandainya Jenderal Wiranto (pada waktu itu Letnan) tidak menyelamatkan Xavier di
lubang tempat dia dipenjarakan oleh FRETILIN di hutan, maka mungkin Xavier
tidak bisa lagi jadi Ketua Partai ASDT di Timor Leste Sekarang.
Selain Xavier, ada juga komandan sektor
FRETILIN bernama Aquiles yang dinyatakan
hilang di hutan (kemungkinan besar dibunuh oleh kelompok radikal FRETILIN).
Istri komandan Aquilis sekarang ada di Baucau dan
masih terus menanyakan kepada para komandan FRETILIN lain yang memegang kendali
di sektor Timur pada waktu itu tentang keberadaan suaminya.
Selama perang saudara di Timor Leste dalam kurun waktu 3 bulan
(September-November 1975) dan selama pendudukan Indonesia selama 24 tahun
(1975-1999), lebih dari 200.000 orang dinyatakan meninggal (60.000 orang secara
resmi mati di tangan FRETILN menurut laporan resmi PBB). Selebihnya mati
ditangan Indonesia saat dan sesudah invasi dan adapula yang mati kelaparan atau
penyakit. Hasil CAVR menyatakan 183.000 mati di tangan
tentara Indonesia karena keracunan bahan kimia dari bom-bom napalm, serta mortir-mortir.
Timor Leste menjadi bagian dari Indonesia
tahun 1976
sebagai provinsi ke-27 setelah gubernur jendral Timor Portugis terakhir Mario
Lemos Pires melarikan diri dari Dili setelah tidak mampu menguasai keadaan pada
saat terjadi perang saudara. Portugal juga gagal dalam proses dekolonisasi di
Timor Portugis dan selalu mengklaim Timor Portugis sebagai wilayahnya walaupun
meninggalkannya dan tidak pernah diurus dengan baik.
Amerika Serikat dan Australia
"merestui" tindakan Indonesia karena takut Timor Leste menjadi
kantong komunisme
terutama karena kekuatan utama di perang saudara Timor Leste adalah Fretilin
yang beraliran Marxis-Komunis.
AS dan Australia khawatir akan efek domino meluasnya pengaruh komunisme di Asia
Tenggara setelah AS lari terbirit-birit dari Vietnam
dengan jatuhnya Saigon atau Ho Chi Minh City.
Namun PBB tidak menyetujui
tindakan Indonesia. Setelah referendum yang diadakan pada tanggal 30 Agustus
1999, di bawah perjanjian
yang disponsori oleh PBB antara Indonesia dan Portugal, mayoritas penduduk
Timor Leste memilih merdeka dari Indonesia. Antara waktu referendum sampai
kedatangan pasukan perdamaian PBB pada akhir September 1999, kaum
anti-kemerdekaan yang konon didukung Indonesia mengadakan pembantaian balasan
besar-besaran, di mana sekitar 1.400 jiwa tewas dan 300.000 dipaksa mengungsi
ke Timor barat. Sebagian besar infrastruktur seperti rumah, sistem irigasi,
air, sekolah dan listrik hancur. Pada 20 September
1999 pasukan penjaga perdamaian International
Force for East Timor (INTERFET) tiba dan mengakhiri hal ini. Pada 20 Mei
2002, Timor Timur diakui
secara internasional sebagai negara merdeka dengan nama Timor Leste
dengan sokongan luar biasa dari PBB. Ekonomi berubah total setelah PBB
mengurangi misinya secara drastis.
Semenjak hari kemerdekaan itu, pemerintah
Timor Leste berusaha memutuskan segala hubungan dengan Indonesia antara lain
dengan mengadopsi Bahasa Portugis sebagai bahasa resmi dan
mendatangkan bahan-bahan kebutuhan pokok dari Australia sebagai "balas
budi" atas campur tangan Australia menjelang dan pada saat referendum.
Selain itu pemerintah Timor Leste mengubah nama resminya dari Timor Leste
menjadi Republica Democratica de Timor Leste dan mengadopsi mata uang dolar AS
sebagai mata uang resmi yang mengakibatkan rakyat Timor Leste menjadi lebih
krisis lagi dalam hal ekonomi.
2.2 kepemerintahan
Portugis Hingga Melepas dari NKRI
Propinsi Daerah
Tingkat I Timor-Timur di bentuk tanggal 17 Juli 1976 dengan Undang-undang No 7
tahun1976. Wilayah ini, sebelumnya lebih dari 450 tahun berada di bawah
tangan penjajahan Portugis.
Kedatangan
kolonial Portugis tidak sepenuhnya diterima oleh penduduk pribumisetempat.
Karena itu, lahir pelbagai reaksi, antara lain dalam perlawanan-perlawanan.
Salah satu perlawanan terhadap pemerintahan kolonial Portugis yang
cukup besardan terorganisasi adalah Perlawanan Viqueque, di samping
perlawanan-perlawanan kecil lainnya. Perlawanan-perlawanan ini terjadi karena
penduduk pribumimerasa bahwa pembayaran pajak yang dilakukan terlalu banyak
menekan mereka, disamping berbagai perlakuan pemerintah Portugis yang dirasakan
sangat memberatkandan diskriminatif sebagaimana layaknya setiap
penjajah. Perlawanan ini bermula dari situasi setelah Perang Dunia
II, dimana bangsa Indonesia yang berada di bawah penindasan kolonial Belanda
menyatakan kemerdekaanya melalui proklamasi tanggal 17 Agustus 1945. Proklamasi
Kemerdekaan Indonesia ini tersebar keseluruh dunia, dan sampai juga ke Timor
Portugis. Pada tahun 1953, beberapa tokoh Timor Portugis yang telah mendengar
kemerdekaan atas diri saudara-saudaranya di Timor Barat (NTT) serta mendengar
bahwa Pemerintah RI telah berhasil menyelenggarakan suatu konprensi
bangsa-bangsa Asia-Afrika di Bandung tahun 1955, yang melahirkan keputusan
mendukung kemerdekaan dari penindasan kolonial bagi setiap bangsa .
Pada ahun 1955 itu sebenarnya sudah
ada rencana pemberontakan dari pemuda-pemuda di Dili. Para pemuda itu lalu
menyebar-luaskan rencananya itu ke Kabupaten-kabupaten. Secara perlahan-lahan
lahir perasaan nasionalisme di kalangan pemuda Timor Portugis. Pada tahun 1959,
semangat untuk melepaskan diri dari kaum kolonial makin kuat. Ini terlihat dari
berkembangnya rncana untuk melakukan perjuangan pada akhir tahun 1959. Dukungan
terhadap rencana itu semakin luas dan tersebar ke Aileu, Same, Ermera, Baucau
dan lain-lain. Untuk merencanakan rencana itu, diadakan pertemuan yang hasilnya
memutuskan bahwa pelaksanaan perjuangan ditetapkan pada 42 Desember 1959,
bertepatan dengan malam tahun baru. karena menurut analisis para pemuda itu,
pada malam tahun baru orang-orang dan tentara Portugis selalu berpesta pora
sehinga penjagaannya tidak ketat dan serangan dapat dilakukan.
Walapun pemberontakan itu di rencanakan
secara rahasia dan tertutup, dapat tercium juga oleh mata-mata Portugis. Mereka
segera melakukan penangkapan terhadap pemuda-pemuda yang dicurigai baik yang
berada di kota Dili maupun di Kabupaten-kabupaten. Pemuda-pemuda itu di
tangkap, disiksa dan dibunuh serta sebagian dari mereka sekitar 68 orang di
buang ke Angola dan Mozambique, daerah jajahan Portugis di Afrika dan sebagian
di bawa ke Portugal. Akibat yang paling menyedihkan dari pemberontakan tahun
1959 itu ialah dilakukannya pembunuhan terhadap ratusan rakyat yang dituduh
mempunyai hubungan dengan pemberontakan tersebut. Perlawanan rakyat yang di
gerakkan dari Viqueque ini merupakan awal dari keinginan rakyat untuk
berintegrasi dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia. tuntutan integrasi
sebenarnya sudah muncul sejak awal tahun 1950-an. Bahkan pada tanggal 3 Juni
1959, rakyat Timor Portugis, terutama rakyat Kabupaten viqueque bangkit
mengangkat senjata melawan penjajah portugis.
Dengan semangat ingin bersatu dengan Indonesia
yang telah merdeka sejak tanggal 17 Agustus 1945, rakyat membusungkan dada
dengan mengibarkan bendere merah putih sebagai panji perjuangan. Beberapa tokoh
pemberontakan itu seperti Jose Manuel Duarte, Salem Musalam Sagran dan Germano
D.A. Silva kini menjadi saksi hidup yang banyak bercerita tentang bagaimana
perlawanan terebut, cita-cita intergrasi penderitaan akibat kegagalan
perjuangan karena berhasil ditumpas oleh Pemerintahan Portugis. Selain ketiga
tokoh tersebut, pada pertengahan januari 1996, ketiga pelaku pergerakan
viqueque yang oleh pemerintah Portugis di buang ke Angola dan Portugal 36 tahun
yang lalu, telah kembali ke Dili dan menyatakan siap untuk tetap tinggal di
Timor-Timur. Ketiga pejuang yang telah kembali tersebut adalah Evaristo Da
Costa,
Armindo Amaral dan Dominggos Soares.
Perjuangan mereka gagal karena keterbaasan perlengkapan, kurang strategi,
lemahnya organisasi sehingga akhirnya perlawanan tersebut tidak mencapai hasil.
Namun peristiwa tersebut adalah bukti sejarah bahwa rakyat Timor Timur pernah
bangkit dan menyatakan ingin bersatu dengan Indonesia. Perjuangan
rakyat Timor Timur melepaskan diri dari belenggu penjajahan dan kemudian
mendapatkan status sebagai salah satu propinsi di Indonesia, berbeda dengan
propinsi-propinsi lainnya. tidak ada dugaan sebelumnya bahwa suasana di Timor
Portugis akan mengalami perubahan, jika saja tidak terjadi kudeta militer di
Portugal pada tanggal 25 April 1974. Kudeta yang dijuluki "Flower
Revolution" atau "Revolusi Bunga"
itu tidak hanya mengguncangkan Portugal, tetapi secara cepat mempengaruhi
wilayah-wilayah jajahannya. Salah satu diantaranya adalah Timor Timur. Revolusi
bunga itu memberi angin kepada rakyat Timor Timur untuk membentuk
organisasi-organisasi kemasyarakatan dan partai-partai politik.
Peluang ini tidak disia-siakan oleh
tokoh-tokoh masyarakat setempat. Kehidupan masyarakat pada masa-masa sebelumnya
terbelenggu dengan berbagai keterbatasan, bahkan hubungan antara masyarakat
Timor Portugis dengan saudara-saudaranya di Timor bagian barat (Propinsi Nusa
Tenggara Timur) tertutup sama sekali. sebab itu pula hampir tidak ada informasi
yang berhasil memasuki wilayah Timor Timur. Wilayah ini betul-betul diisolasi
oleh portugis. dengan adanya sedikit celah kebebasan, menyusul Revolusi Bunga
tersebut, keadaan di Timor Timur segera berubah. dengan cepat diwilayah ini
tumbuh dan berkembang beberapa organisasi politik seperti Uniao
Democratica Timorense (UDT), Frente Revolucionaria de Timor-Leste
Independete (Fretelin) dan Associacao Popular Democratica
Timorence (Apodeti).
organisasi Politik yang terakhir ini
sebelumnya bernama Associacao Par a Integraco de Timor na Indonesia (AITI),
bertujuan memperjuangkan integrasi dengan Indonesia. Di tingkat
politik bilateral, antara Indonesia dan Portugis, sudah sejak bertahun-tahun suasananya
dingin. Hal ini disebabkan kegigihan Indonesia mendobrak kolonisasi-kolonisasi
yang masih ada di muka bumi melalui forum-forum internasional, dan memutuskan
hubungan diplomatik dengan Portugal pada tahun 1964. Karena itu pulalah
kunjungan Gubernur Nusa Tenggara Timur El Tari ke Dili, Timor Portugis dari
tanggal 28 Februari - 2 Maret 1974 merupakan hal yang istimewa dan membuka
linasan sejarah baru. Sesudah kunjungan Gubernur NTT tersebut mendapat sambutan
positif dari Gubernur Timor Portugis Fernando Alves Aldeia,
hubungan antara kedua daerah mulai sedikit terbuka. Sadar akan perkembangan
situasi di Lisabon (Ibu kota Portugal) yang segera dapat membawa dampak di
Timor Portugis setelah Revolusi Bunga, Gubernur Timor Portugis bergegas
mengutus Mayor Arnao Mitello, kepada staf Angkatan Darat Portugis
di Dili menemui Gubernur El Tari di Kupang. Ini terjadi kurang dua bulan
setelah El Tari berkunjung ke Dili. Arnao Mitello menjelaskan
tentang perubahan politik di Lisabon dan kebijaksaan Pemerintahan Portugal
menyangkut koloni-koloni mereka, yang pada garis besarnya dikatakan akan
melaksanakan dekolonisasi.
Sesudah perubahan politik di Lisabon
tersebut bermuncululanlah partai-partai politik di Timor Timur dengan
mengumumkan keberadaan mereka kepada masyarakat umum, seperti Uniao
Democratica Timorense (UDT) pada tangga l 11 Mei 1974. Tokoh-tokoh UDT
antara lain Francisco Xavier Lopes da Cruz, Agusto Cesar da Costa
Mousinho, Domingos de Oliviera, Joao Carrascalao dan Ir. Mario
Viegas Carrascalo. Sesudah itu lahir pula partai kedua yaitu Amisiacao
Social Democratica atau ASDT yang kemudian berubah nama menjadi Frente
Revolucionaria de Timor-Leste Independente atau Fretelin pada tanggal
20 Mei 1974, dengan tokoh-tokohnya Francisco Xavier do Amaral, Nicalao Labota,
Jose Ramos Horta, Mari Alkatiri. Partai ketiga adalah Associao Popular
Democratica de Timor atau Apodeti yang lahir pada tangggal 27 Mei 1974. Berbeda
dengan kedua partai yang terdahulu, Apodeti dengan mengatakan tujuannya ingin
bergabung dengan Indonesia.
Tokoh-tokoh partai ini antara lain adalah Arnaldo
dos Reis Araujo, Hermenegildo Martins, Jose Fernandio Osorio Soares, Guilherme
Maria Goncalves, Alexandrino Borromeu, Casmiro A. dos Reis Araujo dan Jose
Antonio Bonifacio dos Reis Araujo. Selain ketiga partai tersebut
diatas, masih terdapat dua partai lainnya yaitu Klibur Oan Timor Aswin atau
KOTA dibentuk pada tanggak 5 September 1974 dengan Lemos Pedro dos Reis
Amaral dan Jose Martins sebagai tokoh pendiri.
Sedang partai kelima adalah PARDITO TRABALHISTA yang didirikan pada tanggal 9
Juli 1974 dengan pimpinannya Domingos C. Pereira. Selama
bulan-bulan pertama kelahiarannya partai-partai politik ini sibuk mengadakan
konsilidasi. Tiga partai di antaranya yakni, UDT, Fretelin, dan Apodeti
mengirimkan juga utusan-utusannya ke berbagai negara, khususnya ke
negara-negara terdekat seperti Australia dan Indonesia. Ke Indonesia sendiri
telah datang Ramos Horta wakil Fretelin dan Francisco
Xavier Lopes da Cruz, Ketua Umum UDT. Menanggapi perkembangan ini, pemerintah
Indonesia mengumumkan sikapnya pada tanggal 8 Oktober 1974 bahwa Jakarta tidak
mempunyai ambisi teritorial. Indonesia menghormati hak rakyat Timor Portugis
untuk menentukan nasipnya sendiri dan bila rakyat Timor Portugis ingin
bergabung dengan Indonesia, maka penggabungan itu tidak bisa dilakukan atas dua
negara, tetapi Timor Timur harus menjadi bagian dari wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Sikap resmi Pemerintah R.I. ini disampaikan
kepada pemerintah Portugal di Lisabon oleh utusan Indonesia yang terdiri dari Ali
Murtopo, A. Taher (Dubes R.I. di Perancis), dan Frans Seda
(Dubes R.I. di Belgia) pada tanggal 14 Oktober 1974.Dalam pertemuan tanggal
14-15 Oktober 1974 di Lisbon tersebut dibahas tentang masa depan Timor Timur.
Pemerintah Portugal kemudian mengirimkan utusan balasan ke Jakarta yang
dipimpin oleh Dr. Antonio de Almeida Santos (Menteri Seberang
Lautan) tanggal 16 Oktober 1974. Santos mengatakan bahwa apapun yang menjadi
keinginan rakyat Timor Timur, pemerintah portugis akan menghormatinya. Untuk
itu, pemerintah akan menyiapkan undang-undang yang mengatur kepartaian di Timor
Timur. Dalam kunjungannya ke Dili setelah dari Jakarta, Dr. Santos menyatakan
bahwa sebelum referendum, diadakan pemilihan untuk membentuk "dewan
konstituante".
Dewan itulah yang akan menentukan segala
sesuatu mengenai referendum. Padahal dewan konstituante tersebut tidak pernah
disinggung dalam perundingan dengan Indonesia sewaktu di Jakarta. Ini
menandakan bahwa Portugis tidak konsisten dalam masalah dekolonisasi. Bahkan
dikatakan bahwa kemerdekaan Timor Timur adalah sesuatu yang tidak realistis dan
belum saatnya. Beberapa kali partai-partai politik tersebut
mengadakan perundingan dengan Portugis, namun sejauh itu ternyata tidak membawa
hasil. Terutama sesudah pertemuan Macao tanggal 26 Juni 1975, keadaan di Timor
Timur semakin tegang dan mencekam. Pertarungan fisik antara ketiga partai
politik utama semakin keras dan tidak terhindarkan lagi. Dalam suasana yang
semakin tegang dan kacau, Fretelin dan UDT beraliansi dalam wadah koalisi pada
tanggal 20 Juni 1975. Akan tetapi koalisi bubar karena kedua partai tersebut
terjadi saling kecurigaan dan tidak mempercayai satu sama lain dalam
perjuangan. Dengan situasi yang tidak menentu tersebut, UDT melancarkan Gerakan
Gerakan Revolusioner Anti Komunis pada tanggal 11 Agustus 1975. gerakan ini
gagal karena Fretelin mengadakan perlawanan bahkan berhasil mendesak UDT.
Fretelin mulai melakukan penangkapan,
termasuk Raja Atsabe yang adalah tokoh Apodeti, dan rumah-rumah pimpinan UDT di
Dili dihancurkan. Situasi semakin memburuk sehingga terjadi pengungsian
masyarakat. Arus pengungsi berjejal: semakin meminta perlindungan kepada
perwakilan asing di Dili. ada yang melarikan diri ke Australia dan sebagian
memasuki wilayah Indonesia terutama Atambua (Propinsi Nusa tenggara Timur) yang
semakin lama jumlahnya semakin banyak. keadaan yang kacau ini sama sekali tidak
dapat dikuasai oleh pemerintah Portugal, bahkan pagi-pagi tanggal 25 Agustus
1975 Gubernur Portugis Lemos Pires meninggalkan daratan Timor dan
menyeberang ke Pulau Atauro. Dari tempat yang baru inilah ia menyeru PBB agar
mengirim pasukan Internasional. Pemerintah Portugis sendiri secara meminta
Indonesia untuk mengungsikan warga Portugis dan orang asing dari kota Dili. Permintaan
ini di penuhi Indonesia dengan mengirimkan KRI Mongingsidi dibawah pimpinan Subiyakto.
Tetapi sementara Subiyakto sibuk menyakinkan
pihak yang bersengketa untuk memberi kesempatan mengungsikan penduduk asing
dari Dili, tiba-tiba Lemos Pires mengeluarkan perintah yang
mencengankan. Ia meminta KRI Monging sidi segera meninggalakan Dili. Tindakan
Lemos Pires tidak saja disayangkan Oleh Indonesia tetapi juga mendapat protes
keras dari Autralia. bukan hanya orang asing saja yang ketinggalan, bahkan staf
konsulat Indonesia di Dili juga tidak sempat naik ke kapal, sehingga mereka
terpaksa melaliui jalan darat ke Kupang tanggal 30 Agustus 1975. Memasuki bulan
September 1975Fretelin sudah mengambil alih kekuasaan di Timor Timur.
Pasukan UDT di berbagai tempat di lumpuhkan.
Demikian juga tindakan balas dendam semakin menjadi-jadi, tidak saja kepada UDT
tetapi juga kepada Apodeti. Arus pengungsi ke wilayah Indonesia semakin
berjubel, termasuk juga anggota-anggota UDT, walaupun Lopes da Cruz terus
bertahan di sekitar perbatasan Indonesia antara Batugade-Raiikun (NTT).
Fretelin yang semakin keras tidak hanya mengejar pengikut-pengikut UDT di
wilayah Timor Timur, tetapi juga mengejar para pengungsi ke perbatasan wilayah
Indonesia dan bahkan kemudian dalam pengejarannya pasukan fretelin ini melewati
perbatasan. Banyak penduduk Indonesia ikut menjadi korban. Dalam keadaan
terdesak tersebut, pimpinan UDT mulai reintrospeksi, dan pada awal September
1975 sejumlah tokoh UDT mengadakan pertemuaannya di tempat pengungsian sekitar
Maliana. Mengahadapi keadaan yang semakin memprihatinkan ini, pemerintah
Portugis ternyata tidak bisa berbuat apa-apa.
Bahkan Menteri Negara Portugis Dr Antonio de
Almeida Santos yang ditugaskan oleh pemerintahnya untuk melihat situasi Timor Timur
dari dekat, tidak pernah melihat keadaan pengungsi-pengungsi Timor Timur atau
pun mengadakan pertemuan dengan tokoh-tokoh UDT dan Apodeti. Ia hanya
mengadakan pertemuan dengan Fretelin guna pembebasan orang-orang Portugis.
Kendatipun demikian, kedatangan Santos kedua kalinya ke Jakarta pada tanggl 11
September 1975 untuk menjelaskan kegagalannya bertemu tokoh-tokoh UDT dan
Apodeti diterima oleh Pemerintah Republik Indonesia. Bahkan Jakarta menawarkan
kembali agar Santos dapat bertemu dengan pemimpin UDT dan Apodeti sekaligus
melihat keadaan pengungsi Timor Timur di Atambua, wilayah R.I. Tetapi tawaran
bantuan Pemerintah Indonesia ini ditolak oleh Dr. Santos, dan dari sikapnya itu
tercermin bahwa Portugis tidak melakukan usaha yang sungguh-sungguh untuk mendamaikan
para pihak yang bersengketa. Portugis hanya ingin menyelamatkan
serdadu-serdadunya saja tanpa mengindahkan persoalan-persoalan yang dihadapi
pihak lain seperti Indonesia, yang sama sekali tidak ada hubungannya dan hanya
menerima akibatnya saja seperti korban jiwa penduduk Indonesia di perbatasan
dan biaya yang dikeluarkan untuk membantu para pengungsi tersebut. Sementara
pertemuan Indonesia-Portugal berjalan di Jakarta, situasi di Timor Timur terus
bergejolak. Fretelin yang merasa berada di atas angin segera mengirim telegram
ke berbagai pelosok dunia bahwa mereka sudah menguasai Timor Timur dan
memplokamirkan berdirinya Republik Demokrasi Timor pada tanggal 28 November
1975. Untuk membendung kegiatan yang menentang usahanya, Fretelin melakukan penangkapan
dan pembunuhan terhadap lawan-lawan politiknya. Antara lain yang menjadi korban
pembunuhannya adalah tokoh dan sekretaris Jendral Apodeti Jose Fernando
Osorio Soares bersama eman orang lainnya di Same pada tanggal 27 Juni
1976.
Melihat perkembangan situasi dari Fretelin
yang semakin merajalela, tokoh-tokoh UDT mengadakan pertemuan di Maliana.
Mereka mulai sadar bahwa Integrasi dengan Negara Kesatuan R.I. adalah jalan
keluar yang paling baik bagi masa depan Timor Timur. Konsultasi anrata tokoh UDT,
APODETI, KOTA, dan TRABALHISTA menghasilkan kesepakatan untuk memperjuangkan
integrasi secara bersama-sama. Sebagai reaksi atas proklamasi sepihak Fretelin,
maka gabungan APODETI, UDT, KOTA dan TRABALHISTA menyatakan Deklarasi Balibo
sebagai pernyataan rakyat Timor Timur telah berintegrasi dengan Negara Kesatuan
R.I. tanggal 30 November 1975 di Balibo Kabupaten Bobonaro. Sikap politik
keempat partai politik itu, diiringi pula dengan persiapan pembentukan pasukan
gabungan yang direkrut dari para pengungsi yang jumlahnya sekitar 40.000 orang.
Demikianlah dari perbatasan, pasukan pengungsi ini kembali ke Timor Timur dan
menyerang kedudukan pasukan Fretelin. Mulanya secara bergerilya tetapi kemudian
secara frontal.
Tanggal 3 Oktober 1975 pasukan gabungan ini
berhasil menguasai Batugade, sebuah kota kecil dekat perbatasan Timor Timur
dengan NTT. Pernyataan atau Proklamasi ini dikeluarkan di Balibo sehingga
selanjutnya terkenal dengan Proklamasi Balibo. Setelah proklamasi tersebut,
pasukan gabungan keempat partai semakin meningkatkan tekanannya terhadap
kedudukan-kedudukan pasukan Fretelin. Sampai awal Desember 1975, pasukan
gabungan sudah berhasil mengusai beberapa kota. Fretelin sendiri yang ternyata
tidak mendapat tempat di hati rakyat, terpaksa memusatkan pertahanan mereka di
kota Dili. Akhirnya kota inipun pada lewat tengah malam 7 Desember 1975
berhasil direbut pasukan gabungan. Pasukan gabungan segera mengeluarkan para
tahanan. Salah seorang diantaranya adalah tokoh utama Apodeti Arnaldo dos
Reis Araujo. Setelah Dili dikuasai, Fretelin melarikan diri ke
gunung-gunung. Sinar cerah wilayah bekas jajahan Portugis ini mulai terlihat.
Setelah keadaan sepenuhnya dikuasai, tokoh-tokoh gabungan keempat partai
membentuk Pemerintah Sementara Timor Timur (PSTT) yang bersifat Otonom.
Kemudian di lengkapi dengan Dewan Perwakilan
Rakyat Timor Timur. PSTT dipimpin oleh Arnaldo dos Reis
Araujo. Tokoh Apodeti dan wakilnya Francisco Lopes da Cruz
ketua UDT, sedangkan DPR Timor Timur diketahui oleh Guilherme Maria
Goncalves dari unsur Apodeti. Pada 31 Mei 1976 Dewan
Perwakilan Rakyat Timor Timur mengeluarkan petisi yang isinya Mendesak
Pemerintah Indonesia agar dalam waktu yang sesingkat-singkatnya menerima dan
mengesahkan bersatunya rakyat serta wilayah Timor Timur ke dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Seminggu kemudian yaitu tanggal 7 Juni 1976 para
pemimpin PST dan DPR Timor Timur menyerahkan petisi rakyat Timor Timur tersebut
pada Presiden Republik Indonesia di Jakarta. Setelah menerima petisi
tersebut, maka Pemerintah R.I. membentuk dan mengirimkan delegasi untuk
memperoleh gambaran secara secara langsung kehendak rakyak Timor Timur. Setelah
mengadakan peninjaun ke berbagai wilayah Timor Timur tanggal 29 Juni 1976,
kemudian, pemerintah mengajukan Rancangan Undang-undang tentang Penyatuan Timor
Timur ke dalam negara Kesatuan Republik Indonesia kepada Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia. pada sidang Pleno DPR-RI secara aklamasi pimpinan
dan anggota Dewan menyetujui dan kemudian mengesahkannya dengan Undang-Undang
Nomer 7 tahun 1976 tanggal 17 Juli 1976. Dalam Undang-Undang itu dimuat tentang
Penyatuan Timor Timur kedalam Negara Kesatuan Republik Indonesia dan sekaligus
pembentukan Timor Timor sebagai provinsi ke-27. Secara simbolis Presiden
kemudian menyerahkan duplikat bendera pusaka kepada Arnaldo dos Reis
Araujo dan Franscico X. Lopes da Cruz, dan
salinan teks Proklamasi Republik Indonesia kepada Lopes da Cruz.
Sebagai tindak lanjut dari proses integrasi
itu, dikeluarkan Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 1976 yang mengatur status
Pemerinta Propinsi Daerah Tingkat I Timor Timur. Sejak ditetepkan sebagai
propinsi ke-27, Timor Timur telah dipimpin oleh empat orang Gubernur, yaitu: Arnaldo
dos Reis Araujo (1976-1978) sebagai Gubernur KDH Tingkat I yang
pertama, Guilherme Maria Goncalves (1978-1982) sebagai
GubernurKDH Tingkat kedua, Ir. Mario Viegas carrascalao (1982-1992)
sebagai Gubernur KDH Tingkat I yang ketiga, dan Abilio Jose Osorio Soares
(1992- 1999), sebagai Gubernur KDH Tingkat I yang keempat.
2.2 Pisahnya Timor Leste
dari NKRI
Peristiwa-peristiwa sekitar integrasi Timor
Timur dengan Indonesia pada tahun 1976 juga ikut memegang peranan dalam
hubungan Australia-Indonesia. Sesudah Portugis meninggalkan bekas daerah
jajahannya tersebut di tahun 1975, Angkatan bersenjata Indonesia memasuki Timor
Timur pada bulan Desember 1975 dan kawasan ini menjadi satu dengan Republik
Indonesia di tahun 1976. Hal ini menyebabkan perdebatan di Australia. Di
samping itu, kematian lima wartawan Australia di Timor Timur di tahun 1975
telah menjadi perhatian masyarakat Australia dan media. Namun pada akhirnya
Australia mengakui kedaulatan Indonesia atas Timor Timur secara de jure tahun
1979. Namun dinamika politik dalam negeri Indonesia telah berubah secara
dramatis dengan jatuhnya Pemerintahan mantan Presiden Soeharto. Pada tanggal 30
Agustus 1999, melalui jajak pendapat, rakyat Timor Timur memilih merdeka
(78.5%). Pengumuman hasil pemilihan umum tersebut diikuti dengan kekerasan yang
meluas oleh unsur-unsur pro-integrasi. Australia kemudian diminta oleh PBB
untuk memimpin kekuatan internasional di Timor Timur atau International
Force in East Timor (disingkat INTERFET) dalam menjalankan tugasnya untuk
mengembalikan perdamaian dan keamanan di kawasan tersebut. Pada tanggal 20
Oktober, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mencabut keputusan penyatuan
Timor Timur dengan Indonesia.
Integrasi Timor Timur 1976
Pada tahun 1975, ketika terjadi Revolusi
Bunga di Portugal dan Gubernur terakhir Portugal di Timor Leste, Lemos
Pires, tidak mendapatkan jawaban dari Pemerintah Pusat di Portugal
untuk mengirimkan bala bantuan ke Timor Leste yang sedang terjadi perang
saudara, maka Lemos Pires memerintahkan untuk menarik tentara Portugis yang
sedang bertahan di Timor Leste untuk mengevakuasi ke Pulau Kambing atau dikenal
dengan Pulau Atauro. Setelah itu FRETILIN menurunkan bendera Portugal
dan mendeklarasikan Timor Leste sebagai Republik Demokratik Timor Leste
pada tanggal 28 November 1975. Menurut suatu laporan resmi dari PBB,
selama berkuasa selama 3 bulan ketika terjadi kevakuman pemerintahan di Timor
Leste antara bulan September, Oktober dan November, Fretilin melakukan
pembantaian terhadap sekitar 60.000 penduduk sipil (sebagian besarnya wanita
dan anak2 karena para suami mereka adalah pendukung faksi integrasi dengan
Indonesia). Berdasarkan itulah, kelompok pro-integrasi kemudian mendeklarasikan
integrasi dengan Indonesia pada 30 November 1975 dan kemudian meminta dukungan
Indonesia untuk mengambil alih Timor Leste dari kekuasaan FRETILIN yang
berhaluan Komunis.
Tiga Kuburan Masal sebagai bukti pembantaian
FRETILIN terhadap pendukung integrasi terdapat di Kabupaten Aileu (bagian
tengah Timor Leste), masing-masing terletak di daerah Saboria, Manutane dan
Aisirimoun. Ketika pasukan Indonesia mendarat di Timor Leste pada tanggal 7
Desember 1975, FRETILIN memaksa ribuan rakyat untuk mengungsi ke daerah
pegunungan untuk dijadikan tameng hidup atau perisai hidup (human shields)
untuk melawan tentara Indonesia. Lebih dari 200.000 orang dari penduduk ini
kemudian mati di hutan karena penyakit dan kelaparan. Selain terjadinya korban
penduduk sipil di hutan, terjadi juga pembantaian oleh kelompok radikal
FRETILIN di hutan terhadap kelompok yang lebih moderat. Sehingga banyak juga
tokoh-tokoh FRETILIN yang dibunuh oleh sesama FRETILIN selama di Hutan. Semua
cerita ini dikisahkan kembali oleh orang-orang seperti Francisco Xavier
do Amaral, Presiden Pertama Timor Leste yang mendeklarasikan
kemerdekaan Timor Leste pada tahun 1975. Seandainya Jenderal Wiranto (pada
waktu itu Letnan) tidak menyelamatkan Xavier di lubang tempat dia dipenjarakan
oleh FRETILIN di hutan, maka mungkin Xavier tidak bisa lagi jadi Ketua Partai
ASDT di Timor Leste sekarang.
Selain Xavier, ada juga komandan sektor
FRETILIN bernama Aquiles yang dinyatakan hilang di hutan (kemungkinan besar
dibunuh oleh kelompok radikal FRETILIN). Istri komandan Aquilis sekarang ada di
Baucau dan masih terus menanyakan kepada para komandan FRETILIN lain yang
memegang kendali di sektor Timur pada waktu itu tentang keberakaan suaminya.
Hal yang sama juga dilakukan oleh kelompok pro-kemerdekaan terhadap tentara
Indonesia tentang keberadaan komandan Konis Santana dan Mauhudu yang dinyatakan
hilang di tangan tentara Indonesia. Selama perang saudara di Timor Leste dalam
kurun waktu 3 bulan (September-November 1975) dan selama pendudukan Indonesia
selama 24 tahun (1975-1999), lebih dari 200.000 orang dinyatakan meninggal
(60.000 orang secara resmi mati di tangan FRETILN menurut laporan resmi PBB).
Selebihnya tidak diketahui apakah semuanya mati kelaparan atau mati di tangan
tentara Indonesia. Hasil CAVR menyatakan 183.000 mati di tangan tentara
Indonesia karena keracunan bahan kimia (tidak dirinci bagaimana caranya), namun
sejarah akan menentukan kebenaran ini, karena keluarga yang sanak saudaranya
meninggal di hutan tidak bisa tinggal diam dan kebenaran akan terungkap apakah
benar tentara Indonesia yang membunuh sejumlah jiwa ini ataukah sebaliknya.
Situasi aktual di Timor Leste akhir-akhir ini adalah cerminan ketidak puasan
rakyat bahwa rakyat tidak bisa hidup hanya dari propaganda tapi dari roti dan
air. Rakyat tidak bisa hidup dari “makan batu” sebagaimana dipropagandakan
FRETILIN selama kampanye Jajak Pendapat tahun 1999 “Lebih baik makan batu tapi
merdeka, dari pada makan nasi tapi dengan todongan senjata”. Kenyataan
membuktikan bahwa “batu tidak bisa dimakan”, dan rakyat perlu makanan yang
layak dimakan manusia.
Insiden Santa Cruz 1992
Benedict Anderson dalam Nasionalisme, Asia Tenggara,
dan Dunia (2002) mengatakan, lubang hitam dalam sejarah Indonesia di pulau
kecil sebelah utara lepas pantai Australia itu cenderung ditutup-tutupi,
termasuk jumlah penduduk Timor Timur yang tewas akibat kelaparan, wabah, dan
pertempuran 1977-1979. Padahal, menurut Peter Carey (1995), jumlahnya melebihi
angka kematian penduduk Kamboja di bawah Pol Pot.
Fakta
sejarah ini amat jarang diberitakan media Indonesia. Kalaupun ada, media yang
memberitakan niscaya akan menemui ajal. Majalah Jakarta-Jakarta, sebagai salah
satu media populer, misalnya, menjadi korban pemberitaan tentang Timor Timur
tahun 1992.Namun, meski media dimatikan, cerita yang berkisah tentang Insiden
Dili, 12 November 1991, masih terbaca sebagai cerpen. Pelajaran Sejarah (Seno
Gumira Ajidarma, Saksi Mata, Penerbit Bentang, 1994) yang menjadi fiksi dari
peristiwa Santa Cruz itu ditulis oleh wartawan dari media yang terkena
“pembredelan” pemerintah saat itu. Bagi sang wartawan, cerpen atau fiksi
merupakan cara lain untuk menyajikan berita atau fakta sejarah yang sengaja
disembunyikan, bahkan dihilangkan. Maka, sejarah bukan sekadar catatan penyebab
kejadian pada masa lalu, tetapi juga demi menyiapkan akibat selanjutnya pada
masa kini.
Insiden Santa Cruz (juga dikenal sebagai
Pembantaian Santa Cruz) adalah penembakan pemrotes Timor Timur di kuburan Santa
Cruz di ibu kota Dili pada 12 November 1991. Para pemrotes, kebanyakan
mahasiswa, mengadakan aksi protes mereka terhadap pemerintahan Indonesia pada
penguburan rekan mereka, Sebastião Gomes, yang ditembak mati oleh pasukan
Indonesia sebulan sebelumnya. Para mahasiswa telah mengantisipasi kedatangan
delegasi parlemen dari Portugal, yang masih diakui oleh PBB secara legal
sebagai penguasa administrasi Timor Timur. Rencana ini dibatalkan setelah
Jakarta keberatan karena hadirnya Jill Joleffe sebagai anggota delegasi itu.
Joleffe adalah seorang wartawan Australia yang dipandang mendukung gerakan
kemerdekaan Fretilin.
Dalam prosesi pemakaman, para mahasiswa
menggelar spanduk untuk penentuan nasib sendiri dan kemerdekaan, menampilkan
gambar pemimpin kemerdekaan Xanana Gusmao. Pada saat prosesi tersebut memasuki
kuburan, pasukan Indonesia mulai menembak. Dari orang-orang yang berdemonstrasi
di kuburan, 271 tewas, 382 terluka, dan 250 menghilang. Salah satu yang
meninggal adalah seorang warga Selandia Baru, Kamal Bamadhaj, seorang pelajar
ilmu politik dan aktivis HAM berbasis di Australia.
Pembantaian ini disaksikan oleh dua jurnalis
Amerika Serikat; Amy Goodman dan Allan Nairn; dan terekam dalam pita video oleh
Max Stahl, yang diam-diam membuat rekaman untuk Yorkshire Television di
Britania Raya. Para juru kamera berhasil menyelundupkan pita video tersebut ke
Australia. Mereka memberikannya kepada seorang wanita Belanda untuk menghindari
penangkapan dan penyitaan oleh pihak berwenang Australia, yang telah
diinformasikan oleh pihak Indonesia dan melakukan penggeledahan bugil terhadap
para juru kamera itu ketika mereka tiba di Darwin. Video tersebut digunakan
dalam dokumenter First Tuesday berjudul In Cold Blood: The
Massacre of East Timor, ditayangkan di ITV di Britania pada Januari 1992.
Tayangan tersebut kemudian disiarkan ke
seluruh dunia, hingga sangat mempermalukan permerintahan Indonesia. Di Portugal
dan Australia, yang keduanya memiliki komunitas Timor Timur yang cukup besar,
terjadi protes keras. Banyak rakyat Portugal yang menyesali keputusan
pemerintah mereka yang praktis telah meninggalkan bekas koloni mereka pada
1975. Mereka terharu oleh siaran yang melukiskan orang-orang yang berseru-seru dan
berdoa dalam bahasa Portugis. Demikian pula, banyak orang Australia yang merasa
malu karena dukungan pemerintah mereka terhadap rezim Soeharto yang menindas di
Indonesia, dan apa yang mereka lihat sebagai pengkhianatan bagi bangsa Timor
Timur yang pernah berjuang bersama pasukan Australia melawan Jepang pada Perang
Dunia II.
Meskipun hal ini menyebabkan pemerintah
Portugal meningkatkan kampanye diplomatik mereka, bagi pemerintah Australia,
pembunuhan ini, dalam kata-kata menteri luar negeri Gareth Evans, merupakan
‘suatu penyimpangan’. Pembantaian ini (yang secara halus disebut Insiden Dili
oleh pemerintah Indonesia) disamakan dengan Pembantaian Sharpeville di Afrika
Selatan pada 1960, yang menyebabkan penembakan mati sejumlah demonstran yang
tidak bersenjata,
dan yang menyebabkan rezim apartheid mendapatkan kutukan
internasional.
Jajak Pendapat 1999
Munculnya tekanan-tekanan dari masyarakat internasional menanggapi
kasus-kasus yang terjadi di timor timur itu memaksa Indonesia untuk
mengeluarkan kebijakan guna mengakomodasi aspirasi masyarakat Timor Timur.
Tekanan ini juga mendorong Pemerintah Indonesia untuk membahas masalah ini ke
tingkat internasional. Akhirnya, pada Juni 1998, Pemerintah Indonesia
memutuskan untuk memberikan status khusus berupa otonomi luas kepada Timor
Timur. Usulan Indonesia itu disampaikan kepada Sekjen PBB. Sebagai tindak lanjutnya,
PBB pun mengadakan pembicaraan segitiga antara Indonesia, Portugal, dan PBB.
Selama pembicaraan ini, masih terjadi kerusuhan antara pihak pro kemerdekaan
dan pro integrasi di Timor Timur. Kerusuhan ini semakin manambah kecaman dari
dari masyarakat internasional, khusunya dari negara-negara Barat, yang
merupakan sasaran utama speech act dalam usaha sekuritisasi kasus
Timor Timur.
Berangkat dari pembicaraan tiga pihak serta
kecaman yang semakin keras dari dunia internasional, Indonesia memutuskan untuk
melaksanakan jajak pendapat rakyat Timor Timur dilakukan secara langsung.
Menanggapi keputusan Indonesia tersebut, pihak-pihak yang berada dalam
pembicaraan segitiga di atas menyepakati Persetujuan New York yang mencakup
masalah teknis dan substansi jajak pendapat. Jajak pendapat pun berakhir dengan
kemenangan di pihak pro kemerdekaan Timor Timur. Dengan kemenangannya ini,
Timor Timur meraih kedaulatan sebagai sebuah negara.Kedaulatan negara merupakan
satu hal yang selama ini dikejar oleh pihak Timor Timur. berbagai pelanggaran
HAM yang dilakukan oleh Indonesia, yang dibuktikan oleh Peristiwa Santa Cruz
menjadi batu loncatan bagi usaha sekuritisasi perjuangan meraih kembali
kedaulatan Timor Timur.
Kunci dari berhasilnya perjuangan meraih
kemerdekaan Timor Timur adalah dukungan internasional. Oleh karena itu
sekuritisasi menjadi hal yang sangat penting untuk dilakukan oleh Timor Timur.
Berbagaispeech act telah dilakukan oleh securitizing actor
untuk meraih dukungan internasional. Usaha sekuritisasi ini mencapai
keberhasilannya tidak hanya saat Timor Timur merdeka dari Indonesia, namun juga
saat sejumlah negara mulai mendukung perjuangan kemerdekaan Timor Timur.
Pada HUT ke-10 The Habibie Center, mantan
Presiden BJ Habibie menyatakan Timor Leste tidak pernah masuk Proklamasi RI.
Alasannya, karena yang diproklamasikan adalah Hindia Belanda (Kompas,
9/11/2009). Pernyataan ini patut pula kita salami karena terkait masa
lalu Indonesia yang secara historis banyak menyimpan anakronisme yang
menyamarkan beragam fakta. Timor Leste adalah contoh. Semula negeri itu
dianggap berintegrasi ke NKRI sebagai Timor Timur. Ternyata bekas koloni
Portugis itu dianeksasi melalui semacam invasi militer tahun 1975.
Dinamika politik dalam negeri Indonesia
telah berubah secara dramatis dengan jatuhnya Pemerintahan mantan Presiden
Soeharto. Di bulan Januari 1999, diumumkan bahwa Indonesia akan menawarkan
otonomi kepada Timor Timur. Jika rakyat Timor Timur menolak tawaran ini, maka
Indonesia akan menerima pemisahan diri Timor Timur dari Republik Indonesia.
Pada tanggal 5 Mei 1999, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Indonesia dan
Portugis menandatangani Perjanjian Tripartit yang menyatakan bahwa PBB akan
menyelenggarakan jajak pendapat di Timor-Timur. Rakyat diminta memilih apakah
Timor Timur tetap menjadi bagian dari Indonesia ataukah Timor Timur menjadi
negara merdeka. Habibie mengeluarkan pernyataan pertama mengenai isu Timor
Timur pada bulan Juni 1998 dimana ia mengajukan tawaran untuk pemberlakuan
otonomi seluas-luasnya untuk provinsi Timor Timur. Proposal ini, oleh
masyarakat internasional, dilihat sebagai pendekatan baru.
Di akhir 1998, Habibie mengeluarkan
kebijakan yang jauh lebih radikal dengan menyatakan bahwa Indonesia akan
memberi opsi referendum untuk mencapai solusi final atas masalah Timor
Timur.Beberapa pihak meyakini bahwa keputusan radikal itu merupakan akibat dari
surat yang dikirim Perdana Menteri Australia John Howard pada bulan Desember
1998 kepada Habibie yang menyebabkan Habibie meninggalkan opsi otonomi luas dan
memberi jalan bagi referendum. Akan tetapi, pihak Australia menegaskan bahwa
surat tersebut hanya berisi dorongan agar Indonesia mengakui hak menentukan
nasib sendiri (right of self-determination) bagi masyarakat Timor
Timur.
Namun, Australia menyarankan bahwa hal
tersebut dijalankan sebagaimana yang dilakukan di Kaledonia Baru dimana
referendum baru dijalankan setelah dilaksanakannya otonomi luas selama beberapa
tahun lamanya. Karena itu, keputusan berpindah dari opsi otonomi luas ke
referendum merupakan keputusan pemerintahan Habibie sendiri. Aksi kekerasan
yang terjadi sebelum dan setelah referendum kemudian memojokkan pemerintahan
Habibie. Legitimasi domestiknya semakin tergerus karena beberapa hal. Pertama,
Habibie dianggap tidak mempunyai hak konstitusional untuk memberi opsi
referendum di Timor Timur karena ia dianggap sebagai presiden transisional.
Kedua, kebijakan Habibie dalam isu Timor
Timur merusakan hubungan saling ketergantungan antara dirinya dan Jenderal
Wiranto, panglima TNI pada masa itu. Di hari-hari jatuhnya Suharto dari kursi
kepresidenannya, Jenderal Wiranto dilaporkan bersedia mendukung Habibie dengan
syarat Habibie mengamankan posisinya sebagai Panglima TNI. Sementara itu,
Habibie meminta Wiranto mendukung pencalonan Akbar Tanjung sebagai Ketua Golkar
pada bulan Juli 1998. Hal ini cukup sulit bagi Wiranto karena calon lain dalam
Kongres Partai Golkar adalah Edi Sudrajat yang didukung oleh Try Sutrisno,
kesemuanya adalah mantan senior Jenderal Wiranto. Namun Wiranto tidak memiliki
pilihan lain dan menginstruksikan semua pimpinan TNI di daerah untuk mendorong
semua ketua Golkar di daerah untuk memilih Akbar Tanjung.
Habibie kehilangan legitimasi baik dimata
masyarakat internasional maupun domestik. Di mata internasional, ia dinilai
gagal mengontrol TNI, yang dalam pernyataan-pernyataannya mendukung langkah
presiden Habibie menawarkan refendum, namun di lapangan mendukung milisi pro
integrasi yang berujung pada tindakan kekerasan di Timor Timur setelah
referendum.
Di mata publik domestik, Habibie juga harus menghadapi menguatnya
sentimen nasionalis, terutama ketika akhirnya pasukan penjaga perdamaian yang
dipimpin Australia masuk ke Timor Timur. Sebagai akibatnya, peluang Habibie
untuk memenangi pemilihan presiden pada bulan September 1999 hilang.
Sebaliknya, citra TNI sebagai penjaga kedaulatan territorial kembali menguat.
Padahal sebelumnya peran politik TNI menjadi sasaran kritik kekuatan pro
demokrasi segera setelah jatuhnya Suharto pada bulan Mei 1998.
Tanggal 30 Agustus merupakan tanggal yang
sangat sakral dalam dinamika perpolitikan Negara yang seumur jagung ini. Pada
hari itu diadakan jajak pendapat di Timor Leste (pada saat itu masih bernama
Timor Timur). Jajak pendapat inilah yang nantinya berujung pada kemerdekaan
(bekas) provinsiTimor Timur ini. Pada akhirnya, hasil jajak pendapat
tersebutlah yang dapat menjawab nasib rakyat Timor Leste selanjutnya. Sebagian
besar rakyat Timor Timur lebih memilih untuk merdeka (78.5%). Pengumuman hasil
pemilihan umum tersebut diikuti dengan kekerasan yang meluas oleh unsur-unsur
pro-integrasi.
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya,
bahwa pada akhirnya, pasukan Australia lah yang menjadi pahlawan dalam kasus
ini. Australia telah memperhitungkan semua ini secara cermat dan tepat.
Australia memainkan peranan pokok dalam memobilisasi tanggapan internasional
terhadap krisis kemanusiaan yang membayang nyata. Pasukan penjaga perdamaian
yang dipimpin Australia masuk ke Timor Timur. Jakarta menyetujui keterlibatan
angkatan internasional pemilihara keamanan di kawasan ini. Australia diminta
oleh PBB untuk memimpin angkatan tersebut, dan menerima tugas ini. Kekuatan
internasional di Timor Timur atau International Force in East Timor (disingkat
INTERFET) telah berhasil dikirim ke Timor Timur dan menjalankan tugasnya untuk
mengembalikan perdamaian dan keamanan di kawasan tersebut. Pada tanggal 20
Oktober, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mencabut keputusan penyatuan
Timor Timur dengan Indonesia.
Terkait hal ini, SBY pernah menyatakan bahwa
hasil jajak pendapat di Timor Timur pada 1999, merupakan buah dari reformasi di
Indonesia. Sebagaimana negara Indonesia mengakui Timor Leste yang merdeka, MPR
saat itu pada 1999 mengakui hasil jajak pendapat tersebut.
Sejak awal 2000, kedua pemerintahan pemerintahan mencari pemecahan
masa lalu, yang terjadi menjelang, selama, dan segera setelah jajak pendapat.
Pertama melalui pendekatan hukum dan cara kedua melalui pendekatan kebenaran
dan persahabatan yang tidak berujung pada peradilan. Kedua pemerintahan sepakat
untuk menempuh yang kedua melalui Komisi Kebenaran dan Persahabatan. Juga harus
diketahui, adalah presiden, waktu itu Menteri Luar Negeri Horta dan Xanana,
yang menganjurkan kepada pemerintah Indonesia memilih kata persahabatan karena
rekonsiliasi sesungguhnya telah terjadi.