Sejarah Bangsa Indonesia-Pada zaman purba, kepulauan tanah air disebut dengan aneka nama.Nan-hai(Kepulauan Laut Selatan). Berbagai catatan kuno bangsa Indoa menamai kepulauan ini Dwipantara (Kepulauan Tanah Seberang), nama yang diturunkan dari kata Sansekerta dwipa (pulau) dan antara
(luar, seberang). Kisah Ramayana karya pujangga Walmiki menceritakan
pencarian terhadap Sinta, istri Rama yang diculik Rahwana, sampai ke Suwarnadwipa (Pulau Emas, yaitu Sumatra sekarang) yang terletak di Kepulauan Dwipantara.
Dalam
catatan bangsa Tionghoa kawasan kepulauan tanah air dinamai
Bangsa Arab menyebut tanah air kita Jaza’ir al-Jawi (Kepulauan Jawa). Nama Latin untuk kemenyan adalah benzoe, berasal dari bahasa Arab luban jawi(kemenyan Jawa), sebab para pedagang Arab memperoleh kemenyan dari batang pohon Styrax sumatrana
yang dahulu hanya tumbuh di Sumatera. Sampai hari ini jemaah haji kita
masih sering dipanggil “Jawa” oleh orang Arab. Bahkan orang Indonesia
luar Jawa sekalipun. Dalam bahasa Arab juga dikenal Samathrah (Sumatra),
Sholibis (Sulawesi), Sundah (Sunda), semua pulau itu dikenal sebagai kulluh Jawi (semuanya Jawa).
Bangsa-bangsa Eropa yang pertama kali datang beranggapan bahwa Asia
hanya terdiri dari Arab, Persia, India dan Tiongkok. Bagi mereka, daerah
yang terbentang luas antara Persia dan Tiongkok semuanya adalah “Hindia“.
Semenanjung Asia Selatan mereka sebut “Hindia Muka” dan daratan Asia
Tenggara dinamai “Hindia Belakang”. Sedangkan tanah air memperoleh nama “Kepulauan Hindia” (Indische Archipel, Indian Archipelago, l’Archipel Indien) atau “Hindia Timur” (Oost Indie, East Indies, Indes Orientales). Nama lain yang juga dipakai adalah “Kepulauan Melayu” (Maleische Archipel, Malay Archipelago, l’Archipel Malais).
Pada jaman penjajahan Belanda, nama resmi yang digunakan adalahNederlandsch-Indie (Hindia Belanda), sedangkan pemerintah pendudukan Jepang 1942-1945 memakai istilah To-Indo (Hindia Timur).
Eduard Douwes Dekker ( 1820 – 1887 ), yang dikenal dengan nama samaran
Multatuli, pernah mengusulkan nama yang spesifik untuk menyebutkan
kepulauan tanah air kita, yaitu Insulinde, yang artinya juga “Kepulauan Hindia” ( Bahasa Latin insula berarti pulau). Nama Insulinde ini kurang populer.
Nusantara
Pada tahun 1920, Ernest Francois Eugene Douwes Dekker ( 1879 – 1950),
yang dikenal sebagai Dr. Setiabudi (cucu dari adik Multatuli),
memperkenalkan suatu nama untuk tanah air kita yang tidak mengandung
unsur kata “India”. Nama itu tiada lain adalah Nusantara,
suatu istilah yang telah tenggelam berabad-abad lamanya. Setiabudi
mengambil nama itu dari Pararaton, naskah kuno zaman Majapahit yang
ditemukan di Bali pada akhir abad ke-19 lalu diterjemahkan oleh JLA.
Brandes dan diterbitkan oleh Nicholaas Johannes Krom pada tahun 1920.
Pengertian Nusantara yang diusulkan Setiabudi jauh berbeda dengan
pengertian nusantara zaman Majapahit. Pada masa Majapahit, Nusantara
digunakan untuk menyebutkan pulau-pulau di luar Jawa (antara dalam Bahasa Sansekerta artinya luar, seberang) sebagai lawan dari Jawadwipa (Pulau Jawa). Sumpah Palapa dari Gajah Mada tertulis “Lamun huwus kalah nusantara, isun amukti palapa” (Jika telah kalah pulau-pulau seberang, barulah saya menikmati istirahat).
Oleh Dr. Setiabudi kata nusantara zaman Majapahit yang berkonotasi jahiliyahitu diberi pengertian yang nasionalistis. Dengan mengambil kata Melayu asliantara,
maka Nusantara kini memiliki arti yang baru yaitu “nusa di antara dua
benua dan dua samudra”, sehingga Jawa pun termasuk dalam definisi
nusantara yang modern. Istilah nusantara dari Setiabudi ini dengan cepat
menjadi populer penggunaannya sebagai alternatif dari nama Hindia
Belanda.
Sampai hari ini istilah nusantara tetap dipakai untuk menyebutkan wilayah tanah air dari Sabang sampai Merauke.
Indonesia
Pada tahun 1847 di Singapura terbit sebuah majalah ilmiah tahunan, Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia
(JIAEA), yang dikelola oleh James Richardson Logan ( 1819 – 1869 ),
seorang Skotlandia yang meraih sarjana hukum dari Universitas Edinburgh.
Kemudian pada tahun 1849 seorang ahli etnologi bangsa Ingris, George
Samuel Windsor Earl ( 1813 – 1865 ), menggabungkan diri sebagai redaksi
majalah JIAEA.
Dalam JIAEA Volume IV tahun 1850, halaman 66-74, Earl menulis artikel On the Leading Characteristics of the Papuan, Australian and Malay-Polynesian Nations.
Dalam artikelnya itu Earl menegaskan bahwa sudah tiba saatnya bagi
penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu untuk memiliki nama khas
(a distinctive name), sebab nama Hindia tidaklah tepat dan sering rancu dengan penyebutan India yang lain. Earl mengajukan dua pilihan nama:Indunesia atau Malayunesia (nesos dalam bahasa Yunani berarti pulau). Pada halaman 71 artikelnya itu tertulis:
“… the inhabitants of the Indian Archipelago or Malayan Archipelago would become respectively Indunesians or Malayunesians“.
Earl sendiri menyatakan memilih nama Malayunesia (Kepulauan Melayu)
daripada Indunesia (Kepulauan Hindia), sebab Malayunesia sangat tepat
untuk ras Melayu, sedangkan Indunesia bisa juga digunakan untuk Ceylon (
Srilanka ) dan Maladewa. Earl berpendapat juga bahwa nahasa Melayu
dipakai di seluruh kepulauan ini. Dalam tulisannya itu Earl memang
menggunakan istilah Malayunesia dan tidak memakai istilah Indunesia.
Dalam JIAEA Volume IV itu juga, halaman 252-347, James Richardson Logan menulis artikel The Ethnology of the Indian Archipelago. Pada awal tulisannya, Logan pun menyatakan perlunya nama khas bagi kepulauan tanah air kita, sebab istilah “Indian Archipelago”
terlalu panjang dan membingungkan. Logan memungut nama Indunesia yang
dibuang Earl, dan huruf u digantinya dengan huruf o agar ucapannya lebih
baik. Maka lahirlah istilah Indonesia.
Untuk pertama kalinya kata Indonesia muncul di dunia dengan tercetak pada halaman 254 dalam tulisan Logan:
“Mr. Earl suggests the ethnographical term
Indunesian, but rejects it in favour of Malayunesian. I prefer the
purely geographical term Indonesia, which is merely a shorter synonym
for the Indian Islands or the Indian Archipelago“.
Ketika mengusulkan nama “Indonesia” agaknya Logan tidak menyadari bahwa
di kemudian hari nama itu akan menjadi nama resmi. Sejak saat itu Logan
secara konsisten menggunakan nama “Indonesia” dalam tulisan-tulisan
ilmiahnya, dan lambat laun pemakaian istilah ini menyebar di kalangan
para ilmuwan bidang etnologi dan geografi.
Pada tahun 1884 guru besar etnologi di Universitas Berlin yang bernama Adolf Bastian (1826 – 1905 ) menerbitkan buku Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipel
sebanyak lima volume, yang memuat hasil penelitiannya ketika mengembara
ke tanah air pada tahun 1864 sampai 1880. Buku Bastian inilah yang
memopulerkan istilah “Indonesia” di kalangan sarjana Belanda, sehingga
sempat timbul anggapan bahwa istilah “Indonesia” itu ciptaan Bastian.
Pendapat yang tidak benar itu, antara lain tercantum dalamEncyclopedie van Nederlandsch-Indie tahun 1918. Padahal Bastian mengambil istilah “Indonesia” itu dari tulisan-tulisan Logan.
Pribumi yang mula-mula menggunakan istilah “Indonesia” adalah Suwardi
Suryaningrat ( Ki Hajar Dewantara ). Ketika dibuang ke negeri Belanda
tahun 1913 beliau mendirikan sebuah biro pers dengan nama Indonesische Pers-bureau.
Nama indonesisch (Indonesia) juga diperkenalkan sebagai
pengganti indisch (Hindia) oleh Prof. Cornelis van Vollenhoven (1917).
Sejalan dengan itu, inlander (pribumi) diganti dengan indonesiër (orang
Indonesia).
Identitas Politik
Pada dasawarsa 1920-an, nama “Indonesia” yang merupakan istilah ilmiah
dalam etnologi dan geografi itu diambil alih oleh tokoh-tokoh pergerakan
kemerdekaan tanah air kita, sehingga nama “Indonesia” akhirnya memiliki
makna politis, yaitu identitas suatu bangsa yang memperjuangkan
kemerdekaan. Akibatnya pemerintah Belanda mulai curiga dan waspada
terhadap pemakaian kata ciptaan Logan itu.
Pada tahun 1922 atas inisiatif Mohammad Hatta, seorang mahasiswa Handels
Hoogeschool (Sekolah Tinggi Ekonomi) di Rotterdam, organisasi pelajar
dan mahasiswa Hindia di Negeri Belanda (yang terbentuk tahun 1908 dengan
nama Indische Vereeniging berubah nama menjadi Indonesische Vereeniging
atau Perhimpoenan Indonesia. Majalah mereka, Hindia Poetra, berganti nama menjadi Indonesia Merdeka.
Bung Hatta menegaskan dalam tulisannya,:
“Negara Indonesia Merdeka yang akan datang (de toekomstige vrije Indonesische staat)
mustahil disebut “Hindia Belanda”. Juga tidak “Hindia” saja, sebab
dapat menimbulkan kekeliruan dengan India yang asli. Bagi kami nama
Indonesia menyatakan suatu tujuan politik (een politiek doel), karena
melambangkan dan mencita-citakan suatu tanah air di masa depan, dan
untuk mewujudkannya tiap orang Indonesia (Indonesier) akan berusaha
dengan segala tenaga dan kemampuannya.”
Di tanah air Dr. Sutomo mendirikan Indonesische Studie Club pada tahun
1924). Pada tahun 1925, Jong Islamieten Bond membentuk kepanduan
Nationaal Indonesische Padvinderij (Natipij). Itulah tiga organisasi di
tanah air yang mula-mula menggunakan nama “Indonesia”. Akhirnya nama
“Indonesia” dinobatkan sebagai nama tanah air, bangsa dan bahasa pada
Kerapatan Pemoeda-Pemoedi Indonesia tanggal 28 Oktober 1928, yang kini
dikenal dengan sebutan Sumpah Pemuda.
Pada bulan Agustus 1939 tiga orang anggota Volksraad (Dewan Rakyat;
parlemen Hindia Belanda), Muhammad Husni Thamrin, Wiwoho Purbohadidjojo
dan Sutardjo Kartohadikusumo, mengajukan mosi kepada Pemerintah Hindia
Belanda agar nama “Indonesia” diresmikan sebagai pengganti nama
“Nederlandsch-Indie”. Tetapi Belanda menolak mosi ini.
Dengan jatuhnya tanah air ke tangan Jepang pada tanggal 8 Maret 1942,
lenyaplah nama “Hindia Belanda”. Lalu pada tanggal 17 Agustus 1945,
lahirlahRepublik Indonesia.
Asal istilah nama Indonesia
Nama ” INDONESIA” muncul pertama kali tahun 1850 yang diciptakan/dipakai
oleh James Richard Logan (ahli hukum Skotlandia) Menurutnya dia lebih
menyukai isitilah geografis “Indonesia” yang bersinonim dengan
“Kepulauan Hindia”.Pendapatnya merupakan penolakan terhadap istilah “indunesians” dan “Melayunesians” yang digunakan oleh George Samuel Windsoe Earl untuk menyebut penduduk Kepulauan Malayan.
JR Logan menciptakan istilah baru ” Indonesia” untuk menyebut penghuni wilayah gugusan nusantara dan membaginya menjadi 4 wilayah geografis : 1. Indonesia Barat terdiri dari Sumatera, semenanjung Melayu, Kalimantan, Jawa dan pulau-pulau antara. 2. Indonesia Timur Laut terdiri dari Formosa hingga gugusan Kepulauan Sulu dan Mindanao di Philipina hingga Kepulauan Visaya. 3. Indonesia barat daya terdiri dari Pantai timur Kalimantan hingga Papua Nugini termasuk gugusan kepulauan di papua barat, Kai dan Aru. dan 4. Indonesai Selatan terdiri dari gugusan kepulauan selatan trans-Jawa, anatara Jawa – Papua Nugini atau dari Bali hingga gugusan Kepulauan Timor.
Loga adalah orang yang pertama mengenalkan nama “Indonesia”, kemudian Adolf Bastian guru besar Etnologi Universitas Berlin yang mempopulerkannya di dunia akademis selama kurun waktu 1884-1894. Nama Indonesia sudah dikenal sebagai istilah budaya dan geografis, karena secara politis wilayah ini dikuasai Belanda dengan sebutan Nederlandsch-Indie )Hindia Belanda).
Makna politis terminologi Indonesia baru tumbuh setelah abad ke-20, setelah Suwardi Suryaningrat (Ki Hadjar Dewantara) memakainya melalui pendirian biro pers Indonesische Per-bureu saat diasingkan ke negeri Belanda tahun 1913. Th 1922 atas prakarsa Mohammad Hatta mengubah nama Indische Vereeniging menjadi Indonesische Vereeniging atau Perhimpoenan Indonesia yang merupakan organisasi pelajar dan mahasiswa Hindia di Belanda yang didirikan tahun 1908.
Era ini merupakan penguatan gerakan pemakian nama “INDONESIA” sebagai penggagti istilah “Hindia belanda” oleh kalangan pemuda dan mahasiswa Indonesia hingga mencapai kemerdekaan. Hal ini juga dibarengi adanya perubahan nama majalah milik Perhimpoenan Indonesia yauti Hindia Belanda menjadi “Indonesia Merdeka ” Sementara itu di tanah air, pergerakan memakai nama “Indonesia” dimulau th 1942 oleh dr.Soetomo pendiri Indonesische Studie Club. Setahun kemudian, Jong Islamieten Bond membentuk Kepanduan National Indonesische Padvinderi (NATIPIJ).
Nama “Indonesia” sebagai suatu negara dan bangsa baru muncul saat Soekarno – Hatta atas nama bangsa Indonesia memproklamirkan Kemerdekaan Indonesia tgl 17 Agustus 1945. Kini Indonesia memasuki usianya yang ke-63 usia yang tidak muda lagi, apakah sudah terwujud cita-cita para pendiri negeri ini ?
Sekian sekilas tentang paparan sejarah bangsa indonesia semoga
kita tetap tergugah untuk melestarikan nilai-nilai sejarah dan asal-usul
diri kita sebagai bangsa yang besar dan bisa memberikan efek positif
terhadap motivasi diri para generasi kita kelak untuk tetap menjaga nilai-nila luhur bangsa ini
Masa penjajahan Indonesia hingga akhir kemerdekaan Indonesia
Penjajahan
Portugis
Pada
awal abad 16, bangsa Portugis tiba di Indonesia. Pada waktu itu ada permintaan
besar di Eropa terhadap rempah-rempah seperti pala, jahe, kayu manis, dan
cengkeh. Keuntungan besar dapat diperoleh dengan mengangkut rempah-rempah itu
ke Eropa untuk dijual. Karena itu, Portugis bertekad untuk menguasai Maluku,
sumber utama rempah-rempah. Pada tahun 1511, mereka mengepung Melaka, pelabuhan
penting. Mereka juga mengepung Maluku.
Namun
pada abad ke-17, Portugis kehilangan posisi mereka karena dikalahkan Belanda.
Penjajahan
Belanda
Armada
pertama Belanda berlayar dari Belanda pada 1595 di bawah pimpinan Cornelis de
Houtman. Pada tahun 1602, Perusahan Hindia Timur Belanda (Dutch East India Company) atau lebih popular dengan nama Kompeni,
didirikan untuk mengontrol perdagangan dengan Indonesia. Pada 1619 Kompeni menguasai Batavia. Pada
1641 mereka menguasai Malaka.
Selama
abad ke-17 Belanda secara bertahap memperluas kekuasaan mereka di Jawa dan
Maluku. Namun mereka memiliki sedikit pengaruh di seluruh Indonesia. Selama
abad ke-18, Kompeni terlilit hutang. Akhirnya pada 1799 pemerintah Belanda
mengambil alih wilayah yang dikuasai Kompeni tersebut.
Penjajahan
Inggris
Pada
1806, Inggris dan Belanda terlibat dalam
perang. Pada 1811, Inggris di bawah Lord Minto berlayar ke Batavia. Inggris
segera mengambil semua milik Belanda di Indonesia. Perbudakan dihapuskan oleh
Inggris dan mereka juga membagi negara menjadi beberapa daerah yang disebut
karesidenan untuk menetapkan wilayah administrasi. Namun, pada 1816 Inggris menyerahkan
Indonesia kembali ke Belanda.
Belanda
datang kembali
Banyak
orang Indonesia yang menolak kembalinya Belanda. Namun Belanda akhirnya
mengalahkan mereka dan merebut kembali kekuasaanya.
Pada
tahun 1825, perang besar berkecambuk di Jawa Tengah, dan Belanda menghadapi
kesulitan untuk menghentikan perang ini, sehingga Belanda harus menghabiskan
banyak biaya untuk menghadapi perang ini. Perang ini dipimpin oleh Pangeran
Diponegoro. Namun perang berakhir dengan kemenangan Belanda pada tahun 1830
melalui diplomasi Belanda yang licik dan penuh muslihat. Diponegoro diasingkan
dan meninggal pada tahun 1855.
Selanjutnya,
pada abad ke-19 Belanda memperpanjang kendali mereka atas bagian lain di
Indonesia. Pada 1825, mereka merebut Palembang di Sumatera. Mereka juga
berperang dengan Bali pada tahun 1848, 1849,1858, dan 1868. Namun Bali baru
bisa ditaklukan pada 1906. Pada 1873, Belanda berperang dengan Aceh. Perang
berlangsung sampai 1908. Sementara itu, pada 1894 Belanda menguasai Lombok, dan
pada tahun 1905 menguasai Seluruh Sulawesi.
Sementara
itu, Belanda tanpa malu-malu mengeksploitasi orang Indonesia. Pada tahun 1803,
Belanda menerapkan Kultuurstelsel, yakni petani Indonesia dipaksa untuk
menyisihkan 20% dari lahan mereka untuk menanam tanaman untuk diekspor. Mereka
hanya dibayar dengan jumlah yang sangat sedikit oleh pemerintah Belanda.
Orang
Indonesia dipaksa menanam kopi, nila, teh, lada, kayu manis, dan gula.
Akibatnya, produksi beras menjadi berkurang. Pada tahun 1870, Belanda beralih
ke sistem pasar bebas. Monopoli pemerintah Belanda pada gula dan komoditas
lainnya telah berakhir. Perkebunan-perkebunan swasta dibuat. Namun keadaan
orang Indonesia tidak menjadi lebih baik, karena mereka hanya bekerja sebagai
kuli di perkebunan pasar.
Pada
awal abad 20, Belanda memutuskan untuk memperlakukan orang Indonesia dengan
lebih adil. Mereka memperkenalkan apa yang mereka sebut sebagai politik etis.
Belanda membangun sekolah dan mengeluarkan dana untuk perawatan kesehatan,
sanitasi, dan irigasi. Namun politik etis ini tidak banyak berpengaruh pada
kehidupan sebagian besar rakyat Indonesia.
Namun
setidaknya, beberapa orang Indonesia mengenyam pendidikan tinggi dan mengenal
ide-ide Barat seperti liberalisme dan sosialisme. Akibatnya, di awal abad 20,
gerakan-gerakan nasionalis bermunsulan di Indonesia. Mereka mulai meneriakkan
kemerdekaan.
Penjajahan
Jepang
Pada
tahun 1940, Jerman menduduki Belanda, dan pada tahun 1942, Jepang menyerbu
Indonesia. Pasukan Belanda yang terakhir menyerah pada tanggal 8 Maret 1924.
Pada awalnya, orang Indonesia menyambut kedatangan Jepang sebagai pembebas.
Namun mereka menjadi sangat kecewa. Orang Jepang ternyata brutal dan kejam,
mereka mengeksploitasi sumber daya di Indonesia.
Namun,
ketika Jepang kalah perang, mereka mulai mendukung kemerdekaan Indonesia,
dengan harapan menjadikan Indonesia sebagai sekutu mereka.
Kemerdekaan
Indonesia
Jepang
menyerah pada 15 Agustus 1945. Kaum nasionalis Indonesia muda bertekad untuk
memproklamasikan kemerdekaan negara sebelum Belanda datang kembali. Sekelompok
dari mereka menculik dua pemimpin nasionalis Soekarno dan Hatta untuk
memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Pada tanggal 17 Agustus, Sukarno
mengumumkan kemerdekaan Indonesia. Dia menjadi presiden pertama dan Hatta
menjadi wakil presiden.
Namun
Belanda tidak bersedia begitu saja membiarkan Indonesia memperoleh kemerdekaan.
Setelah kemerdekaan, mula-mula pasukan Inggris mendarat di Indonesia. Mereka
mencoba untuk tetap netral meskipun ada bentrokan bersenjata antara Inggris dan
Indonesia. Pada bulan November 1946, Inggris meninggalkan Indonesia, dan
Belanda mendaratkan banyak orangnya di Indonesia.
Pada
bulan November, pihak Indonesia dan Belanda menandatangani perjanjian
Linggarjati. Belanda mengakui republik baru tersebut, tetapi hanya mengakui
Jawa dan Sumatera. Mereka masih mengklaim seluruh wilayah Indonesia.
Selanjutnya, perjanjian itu menyatakan bahwa republik akan bergabung dengan
serikat federal dengan Belanda pada tahun 1949.
Tidak
mengherankan jika tidak ada pihak yang senang dengan perjanjian tersebut.
Belanda membangun kekuatan mereka dalam upaya untuk merebut kembali seluruh
Indonesia. Pada musim panas 1947, mereka menyerbu wilayah-wilayah yang
independen. Namun mereka terpaksa mengundurkan diri, sebagian karena perlawanan
Indonesia dan sebagian karena kecaman Internasional yang kuat, terutama oleh
Amerika Serikat.
Pada
bulan Desember 1948, Belanda berusaha merebut kembali Indonesia. Kali ini
rakyat Indonesia menaklukan perang gerilya dan mereka berhasil. Belanda
mengahdapi kecaman keras dari berbagai kekuatan seperti Amerika Serikat dan
mereka menyadari bahwa mereka tidak bisa memenangkan perang. Akhirnya pada
tanggal 2 November 1949, Belanda sepakat untuk mengakui kemerdekaan Indonesia.
Pasukan mereka menarik diri pada Desember 1949.
Konflik Baru di Indonesia
Aceh Menuju Gerakan Aceh Merdeka (GAM)
Daud Beureueh tetap yakin bahwa rakyat Aceh bisa
menyusun kekuatan dan membangkitkan moral perlawanannya sendiri. Bagi
Daud Beureueh, Darul Islam Aceh bisa bangkit dan terus berjuang
melanjutkan revolusi Aceh. Padahal, sesungguhnya saat itu tak mudah bagi
Daud Beureueh untuk melawan Soekarno. Para tokoh Darul Islam banyak
yang menyerah pada waktu itu. Sehingga kabinet Negara Bagian Aceh
tinggal hanya 10 menteri, yang lainnya telah menyerah ke pangkuan
Republik Indonesia. Tokoh-tokoh muda DII/TII tetap mendukung perjuangan
Darul Islam. Daud Beureueh pun masih mempunyai semangat untuk
melanjutkan DII/TII tersebut.
Untuk meyakinkan pasukannya dan sekaligus
untuk mengkonsolidasikan kekuatan perlawanannya, Daud Beureueh
memproklamasikan berdirinya negara Republik Islam Aceh. Peristiwa ini
ternyata mampu menjadi momentum membangkitkan semangat perlawanan rakyat
Aceh pada Soekarno. Di bawah pimpinan Daud Beureueh, segala unsur
masyarakat Aceh bersatu, kecuali segelintir orang yang merasa sakit hati
yang masih tersisa, ataupun keluarga dekat kaum kontra revolusioner
yang telah menjadi korban. (Saleh, Hasan, Mengapa Aceh Bergejolak, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 1992 hal 122)
Dengan adanya proklamasi Republik Islam
Aceh ini perlawanan rakyat Aceh pun menjadi terpisah dengan berbagai
perlawanan rakyat di daerah lain. Aceh bukan lagi menjadi bagian dari
perlawanan DI/TH. Bagi Daud Beureueh perjuangan Republik Islam Aceh
adalah perang dan perjuangan jihad di bumi Aceh dan untuk rakyat Aceh
semata. Di awal-awal pemberontakan, kaum pemberontak menguasai hampir
seluruh Aceh (Saleh, Hasan, Mengapa Aceh Bergejolak, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 1992 hal 233).
Proklamasi ala Daud Beureueh ini berbuntut pada perebutan kekuasaan di
daerah pedesaan. Suasana di seluruh daerah Aceh terasa sangat
revolusioner. Rakyat Aceh seakan tengah menyusun suatu perang sabil
terhadap kafir (kafee). Semua ini karena berkembang persepsi bahwa
pemerintahan Soekarno telah mengkhianati rakyat Aceh. Rakyat menyaksikan
secara langsung pemerintahan Soekarno yang telah banyak merugikan
masyarakat Aceh, yang hanya memberikan janji-janji manis kepada rakyat
Aceh. Ketika rakyat melakukan perlawanan sengit, pemerintah Soekarno
menjawabnya dengan pendekatan senjata.
Bekal persenjataan yang sangat minim pun
menghambat perlawanan rakyat Aceh pada saat itu. Mereka kesulitan
menguasai daerah-daerah yang sudah direbut. Pasukan Daud Beureueh selalu
berhasil dihalau oleh pasukan TNI. Walaupun demikian, mereka selalu
berupaya melakukan perang gerilya di berbagai pedesaan. Hingga sebelum
akhirnya sejarah Republik Islam Aceh, pasukan Daud Beureueh hanya solid
di kawasan hutan dan pedesaan Aceh Pidie dan Aceh Utara. Lemahnya
kekuatan militer dan minimnya persenjataan ini menjadikan pasukan
Republik Islam Aceh lemah, jenuh dan agak frustrasi.
Ketika muncul tawaran dari Menhankam
Jenderal A.H. Nasution untuk kembali ke pangkuan Republik Indonesia
kepada pasukan Republik Islam Aceh, tawaran ini disambut dengan baik.
Akhirnya mereka ikut kembali bergabung dengan Indonesia. Tawaran
Nasution ini disampaikan melalui Panglima/Penguasa Perang Kodam I
Iskandar Muda, Kolonel Muhammad Jasin. Jasin yang mendapat tugas dari
pemerintah pusat ini secara intensif melakukan pendekatan terhadap para
pengikut Daud Beureueh. Perundingan-perundingan antara keduanya sering
dilangsungkan dan selalu melibatkan para ulama. Kesepakatan yang diambil
juga mempertimbangkan pendapat para ulama tersebut.
Orientasi ke Acehan dapat dipandang sebagai
salah satu faktor yang turut melahirkan Gerakan Aceh Merdeka, mesikupun
bukanlah faktor yang peling menentukan. Sebagaimana tercermin pada
awala lahirnya GAM misalnya, orientasinya pada waktu itu adalah untuk
membentuk negara sebagaimana Aceh dimasa lalu, yaitu Aceh dizaman
kesultanan. Sementara itu isa Sulaiaman menyebutkan bahwa GAM ada
kaitannya dengan persoalan Darus Islam (DI) di Aceh belum tuntas
diselesaikan. Dukungan para tokoh DI pada awal lahirnya GAM memperkuat
tesis bahwa ada yang belum selesai pada upaya integrasi yang dibangun
oleh Soekarno untuk menyelesaikan pemberontakan DI/TII daud Beureueh.
Tokoh-tokoh DI/TII yang kecewa ini kemudian mendukung lahirnya GAM,
bahkan mereka menyebut Mohammad Hasan Di Tiro sebagai Wali Negara
terakhir. (Sulaiman, M. Isa. Aceh Merdeka: Ideologi, Kepemimpinan dan Gerakan. Jakarta, Pustaka Al-kuasar, Hal 16-17). Pada
saat DI/TII lahir di Aceh, Mohammada Hasan Di Tiro sebenaranya sudah
terlibat hampir semua kerabatnya di Aceh sperti Tgk Umar Tiro dan Zainal
Abidin Tiro terlibat dalam pemberontakan itu. Pada 1 september 1945
Hasan Tiro dari New York mengirim sepucuk surat ultimatum kepada P.M.
Ali Sastromijoyo yang berisikan tuntutan agar pemerintah RI menghentikan
penumpasan pemberontakan DI/TII, melepaskan tahanan dan melakukan
perundingan dengan pemimpim pemberontakan, jika sampai batas waktu
tanggal 29 September 1945 semua tuntutan itu tidak diindahkan, ia
mengamcam akan membuka Perwakilan Diplomatik DI/TII di PBB dan seluruh
dunia.
Gerakan Aceh Merdeka diproklamirkan pada 4
Desember 1976, disebuah Camp kedua yang bertepatan di Bukit Cokan,
Pedalaman Kecamatan Tiro, Pidie (Nazaruddin, Syamsuddin. Intergrasi Politik Indonesia. Jakarta Gramedia. 1989 hal 26).
Nazaruddin menyebutkan bahwa pada tanggal tersebut muncul sebuah
gerakan bawah tanah yang memproklamirkan Aceh Merdeka yang tergabung
dalam Gerakan Aceh Merdeka oleh sekelompok intelektual Aceh. Pendirian
negara ini merupakan pengelaman kedua di Aceh, setelah pada 21 September
1953 Ulama Aceh Daud Beureueh Menggabungkan Aceh ke dalam Gerakan Darul
Islam. (El Ibrahimy, M. Nur. Peranan Tgk. M. Daud Beureueh dalam Pergelokan Aceh.
Jakarta, Media Da‘wah, 2001, Hal 2 menyebutkan bahwa gagasan untuk
melontarkan pemberontakan terhadap Regime Sokarno awalnya muncul dari
Tgk. Abdul Wahab Seulimeum. Akan tetapi karena yang bersangkutan naik
haji pada tahun 1953 ia tidak dapat turut serta dalam pemberontakan,
karena setelah yang bersangkutan pulang tidak dapat masuk kembali ke
Aceh.)
Proklamasi GAM yang sederhana, dilakukan
disuatu tempat, menandakan bahwa pada awal-awalnya,gerakan ini adalah
gerakan bawah tanah, yang dilakukan secara diam-diam. Isa Sulaiman
menyebutkan fase awal pembentukan GAM 1976-1980 adalah fase konsolidasi
kelompok, bukan fase perang senjata (El Ibrahimy, M. Nur. Peranan Tgk. M. Daud Beureueh dalam Pergelokan Aceh. Jakarta, Media Da‘wah, 2001, Hal 2).
Pada mulanya, gerakan ini dialkukan oleh Hasan Tiro melalui pendekatan
kekeluargaan/ kekerabatan setelah adanya komunikasi dengan beberapa
tokoh DI/TII di masa Daud Beureueh seperti Tgk Zainal Abidin Tiro yang
masih keluarganya.
Bersama dengan proklamasi kemerdekaan, 4
Desember 1976, Hasan Tiro juga mengumumkan Struktur pemerintahan Negara
Aceh Sumatra. Akan tetapi, kabinet tersebut belum berfungsi hingga
pertengahan 1977. persoalannya adalah karena para anggota kabinet
umumnya masih berbaur dengan masyarakat luas untuk kampanye dan
persiapan perang gerilya. Kabinet Negara Aceh Sumatra baru dapat
melaksanakan sidang pertamanya pada 15 Agustus 1977. sedangkan upacara
pelantikan dan pengumpulan anggota kabinet dilaksanakan pada 30 oktober
1977 di Camp Lhok Nilam pedalaman Tiro, Pidie. Kabinetnya sendiri pada
waktu itu, hanyalah terdiri dari beberapa orang saja, yaitu Presiden
(Hasan Mohammad Tiro), Perdana Menteri (Dr. Muchtar Hasbi), Wakil
Perdana Menteri (Teungku Ilyas Leube), Menteri Keuangan ( Muhammad
Usman) Menteri Pekerjaan Umum (Ir. Asnawi Ali), Menteri Perhubungan
(Amir Ishak BA), Menteri Sosial (Dr. Zubir Mahmud) dan Menteri
Penerangan ( M. Tahir Husen). (El Ibrahimy, M. Nur. Peranan Tgk. M. Daud Beureueh dalam Pergelokan Aceh. Jakarta, Media Da‘wah, 2001, Hal 18)
Sebelum Hasan Tiro memproklamirkan Aceh
Merdeka 1976, ia sebelumnya telah terlibat dalam peristiwa DI/TII,
khusunya di Luar - Negeri Amerika Serikat. Tulisan-tulisan tentang
Indonesia, mengisyaratkan pemikiran Hasan Tiro dan gagasan yang
dipikirkan tentang Aceh Merdeka. Negara Aceh yang ingin dibentuk adalah
Negara Aceh pada zaman Iskandar Muda, dimana Aceh mengalami kejayaan dan
kemakmuran. Konsepsi Negara Aceh seperti itu, sesungguhnya sudah sangat
lama ada dalam benak Hasan Tiro.
Itu tercermin dalam beberapa tulisan Hasan
Tiro ketika ia menjadi Mahasiswa Fakultas Hukum pada Columbia University
dan sebagai seorang staf perwakilan Indonesia di New York. Pada
september 1954 nama Hasan Tiro tiba-tiba dikenal oleh Indonesia dan
Dunia internasional ketika ia muncul sebagai Duta Besar Republik Islam
Indonesia di Amerika Serikat dan di Perserikatan Bangsa-Bangsa dengan
sebuh surat terbuka kepada Perdana Menteri Ali Sastromidjojo.
Dalam surat tertanggal 1 September 1954,
Hasan Tiro menuduh Pemerintahan Ali Sastroamidjojo telah menyeret bangsa
Indonesia ke dalam lembah keruntuhan ekonomi dan politik, perpecahan
dan perang saudara, serta memaksa mereka bunuh-membunuh sesama saudara.
Di samping itu Pemerintah Ali Sastroamidjojo telah melakukan pula
kejahatan-kejahatan yang dalam bahasa Inggris disebut genocide terhadap
rakyat Aceh, dan hal itu bertentangan dengan Piagam Perserikatan
Bangsa-Bangsa. (El Ibrahimy, M. Nur. Peranan Tgk. M. Daud Beureueh dalam Pergelokan Aceh. Jakarta, Media Da‘wah, 2001, Hal 18, dalam buku Ibrahim halaman 13 disebutkan secara lengkap isi surat yang ditulis oleh Hasan Tiro tersebut.)
Selain hal itu, Hasan Tiro juga menulis
sebuah tulisan tentang Demokrasi untuk Indonesia (1958). Pandangan Hasan
Tiro di antaranya adalah:
1. Pancasila bukan filsafat, suatu ideologi
yang hidup dalam masyarakat indonesia. Oleh karena itu ia berpendapat
bahwa Islamlah yang dijadikan filsafat atau ideologi negara.
2.
Menolak bentuk ketatanegaraan Indonesia yang unitaris, karena bentuk
itu menimbulkan dominasi suku. Ia lebih memilih negara federal yang
pembagian daerahnya berdasarkan suku bangsa.
Dalam buku tersebut juga disebutkan oleh
Hasan Tiro dengan tegas mengapa ada perlawanan dan pemberontakan.
Kalimatnya “Belum pernah rakyat dari suatu negara memberontak oleh
karena pemerintahan lemah dan kocar-kacir. Bagi rakyat, yang telah
menggerakkan mereka memberontak bukanlah keinginan buat menyerang,
tetapi kehilangan kesabaran buat mereka... Dan pemberontakan adalah
usaha terakhir rakyat yang haknya sudah dirampas oleh penindasan....(Tiro, Hasan Mohammad, Demokrasi Untuk Indonesia. Jakarta, Teplok Press.1999 hal 6-10)
Sementara pada brosur Masa Depan Politik Dunia Melayu (1965) Hasan Tiro mengatakan :
”....yang
kita persaksikan sekarang di kampung halaman kita adalah sesuatu yang
kekal Indonesai-Jawa” menurutnya Indonesia Jawa tidak mungkin dapat
dipertahankan lagi, mengingat rakyat makin hari makin tambah lapar
dimana politik keuangan negara terdiri atas pemotongan uang setiap dari
beberapa tahun berselang. Inflasi merupakan sifat yang kekal dari
ekonomi yang meruntuhkan simpanan, tidak ada lagi kebebaan beragama,
tidak ada kebebasan berbicara, tidak ada lagi kebebasan menulis,
penahanan dan penangkapan yang sewenang-wenang dan Undang-Undang Dasar
hanyalah apa yang disebut oleh Fuhrer-Fuhrer Jawa Belaka” (Sulaiman, M. Isa. Aceh Merdeka: Ideologi, Kepemimpinan dan Gerakan. Jakarta, Pustaka Al-kuasar, hal 14)
Atas dasar itu, sudah sejak 1965 Hasan Tiro
menghimbau putra-putra Aceh, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan
lain-lain untuk tegak berdri merbut kembali kekuasaan dan kehormatan
mereka selama 20 tahun yang sudah direndahkan oleh kolonialisasi jawa (Sulaiman, M. Isa. Aceh Merdeka: Ideologi, Kepemimpinan dan Gerakan. Jakarta, Pustaka Al-kuasar, hal 14).
Pada dasarnya gagasan yang dikemabngkan oleh Hasan Tiro melalui cara
mengobarkan semangat patriotisme lokal untuk mencari dukungan. Termasuk
ketika kemerdekaan Aceh diproklamirkan pada tahun 1976, yang dinamai
ASNLF (Acheh Sumatra Liberation Front) Gerakan Kemerdekaan Aceh Sumtra.
Pengunaan nama ASNLF dan GAM ini menurut
keterangan dari Dr. Husaini Hasan, tidak mengandung perbedaan, karena
keduanya berintikan sama. Sebuah petikan wawancaranya dengan Radio
Nikoya FM Banda Aceh mengatakan sebagai berikut :
”....ASNLF
adalah singkatan dari Acheh Sumatra Liberation Front nama GAM dalam
bahasa inggris, yang selalu kami gunakan diluar negeri bila kami
berhubungan dengan dunia internasional. Pada mulanya kami menggunakan
nama NLFAS (National Liberatioan Front Of Acheh Sumatra), tetapi
kemudian berubah menjadi ASNLF yang lebih sering kami gunakan. Kami
menggunakan perkataan sumatra untuk lebih mudah mepresentasikan letak
Aceh secara geografis...(Wawancara Dr, Husaini Hasan received on Mon Dec 27 13:40 38 MET 1999 yang dimuat oleh kabar dari pijar Online)
Namun bila kita bandingkan dengan
pernyataan resmi Hasan Tiro, jelas bahwa pengunaan Sumatra, pada awalnya
diharapkan akan menarik dukungan yang lebih luas bukan hanya dari Aceh,
tetapi sekaligus seluruh Sumatra. Selain itu Sumatra dimasukkan kedalam
gerakan mereka karena sebagi besar pencetus GAM memahami bahwa Sumatra
dalam sejarahnya termasuk wilayah Kerajaan Iskandar Muda. Meskipun
belakangan ada persepsi lain dari Dr. Husaiani bahwa Sumatra hanya
dimaksudkan untuk merepresentasikan letak geografis Aceh, namun dari
beberapa dokumen yang dianalisis, penggunaan Sumatra lebih untuk
memperoleh dukungan dan alasan historis yang disebut diatas.
Pihak GAM sering menganggap bahwa Aceh
bukanlah wilayah Republik Indonesia. Secara historis beberapa anggota
GAM seperti Tgk Abdullah Syafei (alm) penglima GAM memandang bahwa
antara bangsa Aceh dengan bangsa Indonesia Jawa tidak ada hubungan sama
sekali. Secara historis Aceh adalah suatu bangsa yang memiliki struktur
sendiri. Kalaupun Aceh sekarang di bawah Indonesia, itu karena kesalahan
Belanda, sebab sejak 1873 bangsa Aceh diberi kemerdekaan oleh Inggris (Rakyat Merdeka, 22 Agustus 1999). Pihak GAM memahami bahwa Aceh adalah wilayah yang lepas dari Indonesia, dan memiliki identitas serta pemerintahan sendiri.
Gagasan-gagasan Hasan Tiro ini semakin
memuncak setelah Pemerintah Orba mengekploirasi gas alam dan minyak bumi
di Aceh sejak awal 1970-an. Gas alam dan minyak bumi ditemukan
disekitar pemukiman masyarakat Arun akhir tahun 1960-an. Penemuan ini
diteruskan dangan dibangunya pusat-pusat investasi besar berupa PT Arun
(1974). Pada tahun itu, Aceh mencatat sejarah baru dalam pembangunan
daerahnya ketika ditemukan sumber gas alam yang tergolong terbesar di
dunia. Penemuan ini bersamaan dengan krisis energi yang melanda dunia,
sehingga usaha pengeksplorasiannya di percepat dengan miliaran rupiah
ditumpahkan untuk proyek ini. Dalam waktu 4 tahun, di Blang Lancang
berdiri pabrik pencairan minyak terbesar di dunia (M. Mas‘ud Said. Sejarah Aceh dan Penyebab Gejolak. Dalam Republika, 13 januari 1999).
Kawasan industri itu semakin berkembang, wilayah ini kemudian dikemas
dalam satu wilayah industri yang dinamakan ZILS (Zona Industri
Lhokseumawe). (Patji, Zona Industri
Lhokseumawe (ZILS), Studi tentang Kesenjangan Sosial Budaya di Aceh
Utara, dalam jurnal Masyarakat dan Budaya, Vol. II, No 1 september 1998,
Jakarta, PMB LIPI, 1998 hal 20)
Minyak ini sebenarnya telah dieksploirasi
sejak zaman Belanda tahun 1908 dan tahun 1928 (terutama untuk daerah
Kuala Simpang dan Lhokseumawe). Dalam catatan historis sudah disebutkan
bahwa sejak abad XIV sebenarnya sudah diketahui di Peureulak ada sumur
minyak tanah, namun belum dapat dieksplorasi secara modern. Pada tahun
1907 Belanda pernah akan malakukan ekplorasi melalui Holland Perlak
Petroleum Maatschappy, namun baru dapat menikmati eksplorasi pada tahun
1908. pada tahun 1928 ditemukan lagi tiga sumur minyak di rantau (Kuala
Simpang) dan Tjunda (Lhokseumawe). (Zainuddin, H.M. Tarich, Atjeh dan Nusantara. Pustaka Iskandar Muda, Medan, hal 80)
Masalah ini pun pada awal-awal kemerdekaan
juga menjadi salah satu persoalan, hingga munculnya GAM. Salah satu isu
yang dikembangkan Hasan Tiro, khusunya gagasan mengenai ketidakadilan di
samping gagasan mengenai penjajahan orang-orang jawa atas kekayaan
Aceh, salah satunya bersumber dari ketidakpuasan atas eksplorasi sumber
minyak di Aceh Utara yang dianggap mengeorbankan rakyat kecil dan lebih
menguntungkan Indonesia ketimbang Aceh. Pada waktu itu, suasana politik
tingkat nasional yang dikuasai oleh orang-orang jawa, dan
pekerja-pekerja yang berasal dari jawa dan gayo yang dijadikan sebagai
milisi oleh kalangan militer, juga tirut mrndorong penyebutan Jawa
sebagai kolonialis yang dilalukan oleh Hasan Tiro dalam mendidik
militernya, seperti tentara Aceh lebih superior daripada tentara Jawa;
tidak bersifat glamour seperti kolonialis Jawa, dan lain-lain.
Mengenai kekecewaan Hasan Tiro, versi lain
menyebutkan bahwa Hasan Tiro bermula ketika ia menawarkan seorang
penguasa kontraktor dari Amerika serikat yang kemudian di tolak
pemerintah Indonesia. Kekecewaan inilah yang menjadi salah satu sebab
mengapa ia sangat kecewa dengan Soeharto, yang kemudian mendorong
lahirnya Gerakan Aceh Merdeka. (Tim IPSK LIPI, Konflik Aceh, Faktor Penyebab dan Karakteristiknya, IPSK LIPI, Jakarta 2003)
Dari
gambaran diatas, tumbuhnya kelompok separatisme GAM di Aceh tidaklah
lahir dalam arena yang kosong, tetapi berkaiatan dengan dinamika
politik, ekonomi, sosial dan pembangunan di Aceh yang menjadi latar
belakangnya. Selain itu, tumbuhnya GAM di Aceh juga tak luput dari
begiru banyaknya kepentingan aktor-aktor lain di balik
peristiwa-peristiwa konflik yang terjadi, apabila dirumus dari aspek
asal usul perkembangannya.
Mengenai pembagian periode perkembangan
GAM, Isa Sulaiman membaginya menjadi tiga periode yaitu : pertama, GAM
generasi pertama (periode 1976-1982) yang merupakan periode kelahiran
dan konsolidasi kekuatan yang ditandai oleh bentuk-bentuk propaganda,
kedua, GAM generasi kedua (1982-1989) adalah periode rekonsolidasi
kekuatan yang ditandai oleh aksi-aksi kekerasan dan kekacauan
(sasarannya adalah Polisi dan ABRI), ketiga, periode ketiga (1989-2003)
yaitu periode pengembangan sayap militer, konflik bersenjata, dan
perjuangan diplomatik di luat negeri, terutama pada tahun 2003. (Isa
Sulaiman menyebutkan periode pertama ditandai oleh adanya keberadaan
pimpinan GAM di Aceh, periode kedua ditandai oleh masa rekonsilidasi GAM
di Aceh, dan periode ketiga ditandai dengan kekerasan bersenjata)
Fase Pertumbuhan GAM, Jumlah Personil dan Lokasi Penyebarannya
Fase Pertumbuhan
|
Karakteristik
|
Lokasi Penyebaran dan Perkiraan Jumlah Personil
|
1976-1982
|
Periode kelahiran dan konsolidasi kekuatan yang ditandai oleh bentuk-bentuk propaganda GAM kepada masyarakat
|
Pidie, Aceh Utara dan Aceh Timur. Diperkirakan waktu itu jumlah personilnya tidak lebih dari 500 orang
|
1982-1989
|
Periode rekonsolidasi kekuatan yang ditandai oleh aksi-aksi kekerasan dan kekacauan. Sasarannya adalah Polisi dan ABRI
|
Terbatas di pengunungan dan perjuangan dilakukan melalui luar Aceh dari Libya, Swedia, Singapura dan Malaysia.
|
1989-2003
|
Periode pengembangan sayap militer, konflik bersenjata, dan perjuangan diplomatik di luar negeri, terutama pada tahun 2003
|
Khusunya
pasca jatuhnya Soeharto, GAM mengalami perluasan wilayah ke
kabupaten-kabupaten lain hampir di 17 kabupaten dengan estimasi jumlah
pasukan sekitar 5.000 -15.000 pasukan
|
Pembagian fase pertumbuhan GAM, jumlah
personil dan lokasi penyebarannya oleh Isa Sulaiman ini agak berbeda
dengan yang dilakukan oleh Rose, yang membagi tiga bentuk renkarnasi GAM
dengan tingkat pertumbuhan keanggtaannya sebagai berikut :
Tahun
|
Anggota Aktif
|
Perkiraan Jumlah
|
GAM I (1976-1979)
|
25-200
|
>100
|
GAM II (1989-1991)
|
200-750
|
Periode 1990-1992: 10.000
|
GAM III (1999-2005)
|
15.000-17.000
|
1993: 393
2000: 1.041
2001: 1.700
2002: 1.230
|
Pada periode GAM pertama, 1976-1979 anggota
aktifnya tidak lebih dari 100 orang. Pertumbuhan mulai meningkat pada
GAM II khususnya pada tahun 1990-1992. sementara pertumbuhan yang paling
pesat adalah pada periode III khusunya pasca-jatuhnya Soeharto.
Munculnya GAM generasi pertama, serting
kali dipahami oleh sebagian penulis masalah Aceh sebagai buah dari
kekecewaan politik. Dalam beberapa pemberitaan pada tahun 1970-an hingga
1989, disebutkan ada beberapa aktivitas bekas DI/TII yang ikut
mendukung GAM. Sesungguhnya dalam GAM periode pertama ini terdapat
sembilan tokoh kunci, yaitu : Hasan Tiro (meskipun pernah menjadi Duta
Besar Aceh di PBB tetapi tidak terlibat perang selama peristiwa DI/TII).
Dr. Muchtar Hasbi, Daud Pancuk, Ir. Asnawi, Ilyas Leube, Dr, Zaini, dr.
Husaini, amir Iskak, dan dr. Zubir Mahmud (Majalah
Tiras, No 7, 13 Maret 1997. Namun dalam operasi militer yang dilakukan
oleh ABRI pada tahun 1976-1977 Zubir Mahmud, Muchtar Hasbi dan Ilyas
Leube tewas, dan yang melarikan diri hanya Hasan Tiro, sisanya masih
tinggal di Aceh). Tokoh-tokoh inilah yang memproklamirkan GAM pada 4 Desember 1976.
Dari gambaran munculnya GAM generasi pertama di atas, dapat disimpulkan sejumlah faktor yang mempengaruhi kelahiran GAM, yaitu; pertama, akibat penyelesaian masalah Darul Islam (DI) yang tidak tuntas; kedua,
kekecewaan politik atas marginalisasi masyarakat Aceh dalam proses
pembangunan di daerah industri minyak dan gas bumi dimana mereka tidak
diikutsertakan, atau dipinggirkan. Atau berkaitan dengan persoalan
sentimen ekonomi, karena sebagian para pekerja adalah orang-orang luar
Aceh. Sementara itu, kelahiran GAM pada tahap kedua (1982-1989) masih
berkaitan dengan perkembangan pertumbuhan industrialisasi di sekitar
ZILS. Pada periode ini, timbul kekacauan-kekacauan yang sasarannya
adalah perusahaan-perusahaan dan anggota ABRI melalui penyerangan pos
dan perampasan senjata.
Pada masa Soeharto GAM dipandang sebagai
gerakan Pengacau Keamanan (GPK), sehingga harus dibasmi, karena itu
tidak ada referensi pada masa pemerintahan Soeharto untuk melakukan
upaya integrasi politik bagi kelompok ini. Pendekatan militer
menyebabkan terjadinya kekerasan pada DOM 1989-1998 di Aceh. (Operasi
Jaring Merah I ditetapkan sejak permintaan Gubernur Ibrahim Hasan
kepada Presiden Soeharto untuk mengirim pasukan pada bulan juli 1989.
Ketika itu Gubernur Aceh Ibrahim Hasan meminta pemerintah pusat mengirim
pasukan agar situasi keamanan di Aceh khususnya didaerah-daerah pusat
industri dapat dikendalikan. Secara resmi Operasi Jaring Merah ini tidak
dapat dicabut, dan berlangsung hampir sembilan tahun dari Operasi Merah
I-IX (kurang lebih tahun 1995). Bentuk operasi setelah tahun 1995 lebih
merupakn operasi keamanan dan masih dapat dikatakan sebagai bentuk
kelanjutan dari operasi-operasi sebelumnya. Istilah Daerah Operasi
Militer (DOM) muncul pada awal tahun 1997 dan pada tahun 1998 ketika
gerakan mahasiswa menuntut keadilan dan pelanggaran HAM di Aceh
bermunculan. Aceh sebagai Daerah Operasi Militer dicabut secara resmi
oleh Panglima TNI Jenderal Wiranto pada tanggal 7 Agustus 1998 pada saat
upacara pelepasaan anggota Kopassus yang ditugaskan di Aceh dari
Lhokseumawe.)
Penghilangan orang, pembunuhan,
pemerkosaan, penculikan, justru menjadi anti tesis dari proses integrasi
politik selama masa Orba. Akibat penyelesaian yang tidak tuntas dimasa
lalu dan kegagalan pendekatan dalam menangani separatisme tersebut,
sumber-sumber dan sebab-sebab separatisme di Aceh justru semakin subur,
bahkan telah melahirkan generasi baru (generasi korban DOM yang kemudian
mendukung GAM). Kelompok GAM di masa DOM melakukan eksodus keluar dan
melakukan perjuangan dari luar Aceh, melalui Malaysia, Libya dan Genewa.
(Sulaiman, M. Isa. Aceh Merdeka: Ideologi, Kepemimpinan dan Gerakan. Jakarta, Pustaka Al-kuasar, hal 111-115)
Eksistensi GAM kembali menjadi perhatian
publik dan pemerintah pusat setelah gerakan ini muncul kembali tatkala
indonesia mengalami krisis politik ekonomi-politik hingga jatuhnya
Soeharto pada tahun 1998. kebangkitan Gerakan ini, bukan hanya
mencengangkan, tetapi sekaligus merisaukan pemerintah Jakarta. Pada
awalnya GAM hanya memiliki basis disekitar daerah industri yaitu Pidie,
Aceh Utara dan Aceh Timur, namun dalam fase-fase perkembangannya
mengalami peningkatan jumlah pasukan dan basis wilayah. Pertumbuhan GAM
semakin pesat, baik dari segi organisasi, jumlah maupun kekuatan
senjata. Bahkan pada periode ini, GAM justru melakukan modernisasi
organisasi dan kepemimpinan, serta melakukan gangguan keamanan di daerah
Aceh secara terus menerus.
0 Response to "Sejarah Bangsa Indonesia"
Post a Comment