Taukah Anda-Aliran m’tazilah merupakan salah satu aliran teologi dalam islam yang
dapat dikelompokkan sebagai kaum rasionalis islam, disamping
maturidiyah samarkand. Aliran ini muncul sekitar abad pertama hijriyah,
di kota Basrah, yang ketika itu menjadi kota sentra ilmu pengetahuan dan
kebudayaan islam. disamping itu, aneka kebudayaan asing dan macam-macam
agama bertemu dikota ini. dengan demikian luas dan banyaknya penganut
islam, semakin banyak pula musuh-musuh yang ingin menghancurkannya, baik
dari internal umat islam secara politis maupun dari eksternal umat
islam secara dogmatis.
mereka yang non islam merasa iri melihat perkembangan islam begitu
pesat sehingga berupaya untuk menghancurkannya. adapaun hasarat untuk
menghancurkan islam dikalangan peneluk islam sendiri,
dalam sejarah, mu’tazilah timbul berkaitan dengan peristiwa Washil
bin Atha’ (80-131) dan temannya, amr bin ‘ubaid dan Hasan al-basri,
sekitar tahun 700 M. Washil termasuk orang-orang yang aktif mengikuti
kuliah-kuliah yang diberikan al-Hasan al-Basri di msjid Basrah. suatu
hari, salah seorang dari pengikut kuliah (kajian) bertanya kepada
Al-Hasan tentang kedudukan orang yang berbuat dosa besar (murtakib
al-kabair). mengenai pelaku dosa besar khawarij menyatakan kafir,
sedangkan murjiah menyatakan mukmin. ketika Al-hasan sedang berfikir,
tiba-tiba Washil tidak setuju dengan kedua pendapat itu, menurutnya
pelaku dosa besar bukan mukmin dan bukan pula kafir, tetapi berada
diantara posisi keduanya (al manzilah baina al-manzilataini). setelah
itu dia berdiri dan meninggalkan al-hasan karena tidak setuju dengan
sang guru dan membentuk pengajian baru. atas peristiwa ini al-Hasan
berkata, “i’tazalna” (Washil menjauhkan dari kita). dan dari sinilah
nama mu’tazilah dikenakan kepada mereka.
untuk mengetahui corak rasional kaum mu’tazilah ini dapat dilihat
dari ajaran-ajaran pokok yang berasal darinya, yakni al-ushul
al-khamsah. Ajaran ini berisi at-tauhid, al-’adlu, al-wa’du dan
al-wa’idu, al-manzilah baina al-manzilataini dan amar ma’ruf nahyi
munkar.
dalam hal attauhid (kemahaesaan Tuhan), merupakan jaran dasar
terpenting bagi kaum mu’tazilah, bagi mereka, tuhan dikatakan Maha Esa
jika ia merupakan dzat yang unik, tiada sesuatupun yang serupa dengan
Dia. oleh karena itu, mu’tazilah menolak paham
Antropomorphisme/al-tajassum, yaitu paham yang menggambarkan tuhan
menyerupai makhluknya, misalnya Tuhan Bertangan dsb. untuk menghindari
paham ini, mu’tazilah melakukan interpretasi metaforis terhadap
ayat-ayat al-Qur’an yang Dzonni : yadullah (Tangan Allah), berarti
kekuasaan Allah, Wajhullah (Wajah Allah), Berarti keridhaa-Nya Dsb.
mereka juga menolak paham beatific vision, yaitu pandangan bahwa
tuhan dapat dilihat dai akhirat nanti (dengan mata kepala). satu satunya
sifat tuhan yang betul-betul tidak mungkin ada pada makhluk-Nya adalah
sifat qadim. paham ini mendorong mu’tazilah untuk meniadakan sifat-sifat
Tuhan yang mempunyai wujud sendiri diluar dzat Tuhan.
pandangan rasional mu’tazilah.
Pemikiran-pemikiran para filosof dari pada ajaran dan wahyu dari
Allah sehingga banyak ajaran Islam yang tiddak mereka akui karena
menyelisihi akal menurut prasangka mereka Berbicara perpecahan umat
Islam tidak ada habis-habisnya, karena terus menerus terjadi perpecahan
dan penyempalan mulai dengan munculnya khowarij dan syiah kemudian
muncullah satu kelompok lain yang berkedok dan berlindung dibawah syiar
akal dan kebebasan berfikir, satu syiar yang menipu dan mengelabuhi
orang-orang yang tidak mengerti bagaimana Islam telah menempatkan akal
pada porsi yang benar. sehingga banyak kaum muslimin yang terpuruk dan
terjerumus masuk pemikiran kelompok ini. akhirnya terpecahlah dan
berpalinglah kaum muslimin dari agamanya yang telah diajarkan Rasulullah
dan para shahabat-shahabatnya. Akibat dari hal itu bermunculanlah
kebidahan-kebidahan yang semakin banyak dikalangan kaum muslimin
sehingga melemahkan kekuatan dan kesatuan mereka serta memberikan
gambaran yang tidak benar terhadap ajaran Islam, bahkan dalam kelompok
ini terdapat hal-hal yang sangat berbahaya bagi Islam yaitu mereka lebih
mendahulukan akal dan
Oleh karena itu sudah menjadi kewajiban bagi seorang muslim untuk
menasehati saudaranya agar tidak terjerumus kedalam pemikiran kelompok
ini yaitu kelompok Mu’tazilah yang pengaruh penyimpangannya masih sangat
terasa sampai saat ini dan masih dikembangkan oleh para kolonialis
kristen dan yahudi dalam menghancurkan kekuatan kaum muslimin dan
persatuannya.
Bermunculanlah pada era dewasa ini pemikiran mu’tazilah dengan
nama-nama yang yang cukup menggelitik dan mengelabuhi orang yang
membacanya, mereka menamainya dengan Aqlaniyah… Modernisasi pemikiran.
Westernasi dan sekulerisme serta nama-nama lainnya yang mereka buat
untuk menarik dan mendukung apa yang mereka anggap benar dari pemkiran
itu dalam rangka usaha mereka menyusupkan dan menyebarkan pemahaman dan
pemikiran ini. Oleh karena itu perlu dibahas asal pemikiran ini agar
diketahui penyimpangan dan penyempalannya dari Islam, maka dalam
pembahasan kali ini dibagi menjadi beberapa pokok pembahasan
A. Munculnya golongan atau kelompok Mu’tazilah
Sejarah munculnya aliran mu’tazilah oleh para kelompok pemuja dan
aliran mu’tazilah tersebut muncul di kota Bashrah (Iraq) pada abad ke 2
Hijriyah, tahun 105 – 110 H, tepatnya pada masa pemerintahan khalifah
Abdul Malik Bin Marwan dan khalifah Hisyam Bin Abdul Malik. Pelopornya
adalah seorang penduduk Bashrah mantan murid Al-Hasan Al-Bashri yang
bernama Washil bin Atha’ Al-Makhzumi Al-Ghozzal, kemunculan ini adalah
karena Wasil bin Atha’ berpendapat bahwa muslim berdosa besar bukan
mukmin dan bukan kafir yang berarti ia fasik. Imam Hasan al-Bashri
berpendapat mukmin berdosa besar masih berstatus mukmin. Inilah awal
kemunculan paham ini dikarenakan perselisihan tersebut antar murid dan
Guru, dan akhirnya golongan mu’tazilah pun dinisbahkan kepadanya.
Sehingga kelompok Mu’tazilah semakin berkembang dengan sekian banyak
sektenya. kemudian para dedengkot mereka mendalami buku-buku filsafat
yang banyak tersebar di masa khalifah Al-Makmun. Maka sejak saat itulah
manhaj mereka benar-benar diwarnai oleh manhaj ahli kalam (yang
berorientasi pada akal dan mencampakkan dalil-dalil dari Al Qur’an dan
As Sunnah).
Secara harfiah kata Mu’tazilah berasal dari I’tazala yang berarti
berisah atau memisahkan diri, yang berarti juga menjauh atau menjauhkan
diri secara teknis, istilah Mu’tazilah menunjuk ada dua golongan.
Golongan pertama, (disebut Mu’tazilah I) muncul sebagai respon
politik murni. Golongan ini tumbuh sebahai kaum netral politik,
khususnya dalam arti bersikap lunak dalam menangani pertentangan antara
Ali bin Abi Thalib dan lawan-lawannya, terutama Muawiyah, Aisyah, dan
Abdullah bin Zubair. Menurut penulis, golongan inilah yang mula-mula
disebut kaum Mu’tazilah karena mereka menjauhkan diri dari pertikaian
masalah khilafah. Kelompok ini bersifat netral politik tanpa stigma
teologis seperti yang ada pada kaum Mu’tazilah yang tumbuh dikemudian
hari.
Golongan kedua, (disebut Mu’tazilah II) muncul sebagai respon
persoalan teologis yang berkembang di kalangan Khawarij dan Mur’jiah
akibat adanya peristiwa tahkim. Golongan ini muncul karena mereka
berbeda pendapat dengan golongan Khawarij dan Mur’jiah tentang pemberian
status kafir kepada yang berbuat dosa besar. Mu’tazilah II inilah yang
akan dikaji dalam bab ini yang sejarah kemunculannya memiliki banyak
versi.
B. Tokoh-Tokoh Aliran Mu’Tazilah
Wasil bin Atha.
Wasil bin Atha adalah orang pertama yang meletakkan kerangka dasar
ajaran Muktazilah. Adatiga ajaran pokok yang dicetuskannya, yaitu paham
al-manzilah bain al-manzilatain, paham Kadariyah (yang diambilnya dari
Ma’bad dan Gailan, dua tokoh aliran Kadariah), dan paham peniadaan
sifat-sifat Tuhan. Dua dari tiga ajaran itu kemudian menjadi doktrin
ajaran Muktazilah, yaitu al-manzilah bain al-manzilatain dan peniadaan
sifat-sifat Tuhan.
Abu Huzail al-Allaf.
Abu Huzail al-‘Allaf (w. 235 H), seorang pengikut aliran Wasil bin
Atha, mendirikan sekolah Mu’tazilah pertama di kotaBashrah. Lewat
sekolah ini, pemikiran Mu’tazilah dikaji dan dikembangkan. Sekolah ini
menekankan pengajaran tentang rasionalisme dalam aspek pemikiran dan
hukum Islam.
Aliran teologis ini pernah berjaya pada masa Khalifah Al-Makmun
(Dinasti Abbasiyah). Mu’tazilah sempat menjadi madzhab resmi negara.
Dukungan politik dari pihak rezim makin mengokohkan dominasi mazhab
teologi ini. Tetapi sayang, tragedi mihnah telah mencoreng madzhab
rasionalisme dalam Islam ini.
Abu Huzail al-Allaf adalah seorang filosof Islam. Ia mengetahui
banyak falsafah yunani dan itu memudahkannya untuk menyusun
ajaran-ajaran Muktazilah yang bercorak filsafat. Ia antara lain membuat
uraian mengenai pengertian nafy as-sifat. Ia menjelaskan bahwa Tuhan
Maha Mengetahui dengan pengetahuan-Nya dan pengetahuan-Nya ini adalah
Zat-Nya, bukan Sifat-Nya; Tuhan Maha Kuasa dengan Kekuasaan-Nya dan
Kekuasaan-Nya adalah Zat-Nya dan seterusnya. Penjelasan dimaksudkan oleh
Abu-Huzail untuk menghindari adanya yang kadim selain Tuhan karena
kalau dikatakan ada sifat (dalam arti sesuatu yang melekat di luar zat
Tuhan), berarti sifat-Nya itu kadim. Ini akan membawa kepada
kemusyrikan. Ajarannya yang lain adalah bahwa Tuhan menganugerahkan akal
kepada manusia agar digunakan untuk membedakan yang baik dan yang
buruk, manusia wajib mengerjakan perbuatan yang baik dan menjauhi
perbuatan yang buruk. Dengan akal itu pula menusia dapat sampai pada
pengetahuan tentang adanya Tuhan dan tentang kewajibannya berbuat baik
kepada Tuhan. Selain itu ia melahirkan dasar-dasar dari ajaran as-salãh
wa al-aslah.
Al-Jubba’i.
Al-Jubba’I adalah guru Abu Hasan al-Asy’ari, pendiri aliran
Asy’ariah. Pendapatnya yang masyhur adalah mengenai kalam Allah SWT,
sifat Allah SWT, kewajiban manusia, dan daya akal. Mengenai sifat Allah
SWT, ia menerangkan bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat; kalau dikatakan
Tuhan berkuasa, berkehendak, dan mengetahui, berarti Ia berkuasa,
berkehendak, dan mengetahui melalui esensi-Nya, bukan dengan sifat-Nya.
Lalu tentang kewajiban manusia, ia membaginya ke dalam dua kelompok,
yakni kewajiban-kewajiban yang diketahui manusia melalui akalnya
(wãjibah ‘aqliah) dan kewajiban-kewajiban yang diketahui melaui
ajaran-ajaran yang dibawa para rasul dan nabi (wãjibah syar’iah).
An-Nazzam
An-Nazzam : pendapatnya yang terpenting adalah mengenai keadilan
Tuhan. Karena Tuhan itu Maha Adil, Ia tidak berkuasa untuk berlaku
zalim. Dalam hal ini berpendapat lebih jauh dari gurunya, al-Allaf.
Kalau Al-Allaf mangatakan bahwa Tuhan mustahil berbuat zalim kepada
hamba-Nya, maka an-Nazzam menegaskan bahwa hal itu bukanlah hal yang
mustahil, bahkan Tuhan tidak mempunyai kemampuan untuk berbuat zalim. Ia
berpendapat bahwa pebuatan zalim hanya dikerjakan oleh orang yang bodoh
dan tidak sempurna, sedangkan Tuhan jauh dari keadaan yang demikian. Ia
juga mengeluarkan pendapat mengenai mukjizat al-Quran. Menurutnya,
mukjizat al-quran terletak pada kandungannya, bukan pada uslūb (gaya
bahasa) dan balāgah (retorika)-Nya. Ia juga memberi penjelasan tentang
kalam Allah SWT. Kalam adalah segalanya sesuatu yang tersusun dari
huruf-huruf dan dapat didengar. Karena itu, kalam adalah sesuatu yang
bersifat baru dan tidak kadim.
Al- jahiz
Al- jahiz : dalam tulisan-tulisan al-jahiz Abu Usman bin Bahar
dijumpai paham naturalism atau kepercayaan akan hukum alam yang oleh
kaum muktazilah disebut Sunnah Allah. Ia antara lain menjelaskan bahwa
perbuatan-perbuatan manusia tidaklah sepenuhnya diwujudkan oleh manusia
itu sendiri, malainkan ada pengaruh hukum alam.
Mu’ammar bin Abbad
Mu’ammar bin Abbad : Mu’ammar bin Abbad adalah pendiri muktazilah
aliran Baghdad. pendapatnya tentang kepercayaan pada hukum alam.
Pendapatnya ini sama dengan pendapat al-jahiz. Ia mengatakan bahwa Tuhan
hanya menciptakan benda-benda materi. Adapun al-‘arad atau accidents
(sesuatu yang datang pada benda-benda) itu adalah hasil dari hukum alam.
Misalnya, jika sebuah batu dilemparkan ke dalam air, maka gelombang
yang dihasilkan oleh lemparan batu itu adalah hasil atau kreasi dari
batu itu, bukan hasil ciptaan Tuhan.
Bisyr al-Mu’tamir
Bisyr al-Mu’tamir : Ajarannya yang penting menyangkut
pertanggungjawaban perbuatan manusia. Anak kecil baginya tidak dimintai
pertanggungjawaban atas perbuatannya di akhirat kelak karena ia belum
*mukalaf. Seorang yang berdosa besar kemudian bertobat, lalu mengulangi
lagi berbuat dosa besar, akan mendapat siksa ganda, meskipun ia telah
bertobat atas dosa besarnya yang terdahulu.
Abu Musa al-Mudrar
Abu Musa al-Mudrar : al-Mudrar dianggap sebagai pemimpin muktazilah
yang sangat ekstrim, karena pendapatnya yang mudah mengafirkan orang
lain.Menurut Syahristani,ia menuduh kafir semua orang yang mempercayai
kekadiman Al-Quran. Ia juga menolak pendapat bahwa di akhirat Allah SWT
dapat dilihat dengan mata kepala.
Hisyam bin Amr al-Fuwati
Hisyam bin Amr al-Fuwati : Al-Fuwati berpendapat bahwa apa yang
dinamakan surga dan neraka hanyalah ilusi, belum ada wujudnya sekarang.
Alas$an yang dikemukakan adalah tidak ada gunanya menciptakan surga dan
neraka sekarang karena belum waktunya orang memasuki surga dan neraka.
C. Beberapa Versi Tentang Nama Mu’tazilah
Beberapa versi tentang pemberian nama Mu’tazilah kepada golongan
kedua ini berpusat pada peristiwa yang terjadi antara wasil bin ata
serta temannya, Amr bin Ubaid, dan hasan Al-Basri di basrah. Ketika
wasil mengikuti pelajaran yang diberikan oleh Hasan Al Basri di masjid
Basrah., datanglah seseorang yang bertanya mengenai pendapat Hasan Al
Basri tentang orang yang berdosa besar. Ketika Hasan Al Basri masih
berpikir, hasil mengemukakan pendapatnya dengan mengatakan “Saya
berpendapat bahwa orang yang berbuat dosa besar bukanlah mukmin dan
bukan pula kafir, tetapi berada pada posisi diantara keduanya, tidak
mukmin dan tidak kafir.” Kemudian wasil menjauhkan diri dari Hasan Al
Basri dan pergi ke tempat lain di lingkungan mesjid. Di sana wasil
mengulangi pendapatnya di hadapan para pengikutnya. Dengan adanya
peristiwa ini, Hasan Al Basri berkata: “Wasil menjauhkan diri dari kita
(i’tazaala anna).” Menurut Asy-Syahrastani, kelompok yang memisahkan
diri dari peristiwa inilah yang disebut kaum Mu’tazilah.
Versi lain dikemukakan oleh Al-Baghdadi. Ia mengatakan bahwa Wasil
dan temannya, Amr bin Ubaid bin Bab, diusir oleh Hasan Al Basri dari
majelisnya karena adanya pertikaian diantara mereka tentang masalah
qadar dan orang yang berdosa besar. Keduanya menjauhkan diri dari Hasan
Al Basri dan berpendapat bahwa orang yang berdosa besar itu tidak mukmin
dan tidak pula kafir. Oleh karena itu golongan ini dinamakan
Mu’tazilah.
Versi lain dikemukakan Tasy Kubra Zadah yang menyatakan bahwa
Qatadah bin Da’mah pada suatu hari masuk mesjid Basrah dan bergabung
dengan majelis Amr bin Ubaid yang disangkanya adalah majlis Hasan Al
Basri. Setelah mengetahuinya bahwa majelis tersebut bukan majelis Hasan
Al Basri, ia berdiri dan meninggalkan tempat sambil berkata, “ini kaum
Mu’tazilah.” Sejak itulah kaum tersebut dinamakan Mu’tazilah.
Al-Mas’udi memberikan keterangan tentang asal-usul kemunculan
Mu’tazilah tanpa menyangkut-pautkan dengan peristiwa antara Wasil dan
Hasan Al Basri. Mereka diberi nama Mu’tazilah, katanya, karena
berpendapat bahwa orang yang berdosa bukanlah mukmin dan bukan pula
kafir, tetapi menduduki tempat diantara kafir dan mukmin (al-manjilah
bain al-manjilatain). Dalam artian mereka member status orang yang
berbuat dosa besar itu jauh dari golongan mukmin dan kafir.
C. Ajaran yang Diajarkan oleh Golongan Mu’tazilah
Ada beberapa ajaran yang di ajarkan oleh golongan Mu’tazilah yaitu
misalnya: Al – ‘adl (Keadilan). Yang mereka maksud dengan keadilan
adalah keyakinan bahwasanya kebaikan itu datang dari Allah, sedangkan.
Dalilnya kejelekan datang dari makhluk dan di luar kehendak (masyi’ah)
Allah adalah firman Allah : “Dan Allah tidak suka terhadap kerusakan.”
(Al-Baqarah: 205) “Dan Dia tidak meridhai kekafiran bagi hamba-Nya”.
(Az-Zumar:7) Menurut mereka kesukaan dan keinginan merupakan kesatuan
yang tidak bisa dipisahkan. Sehingga mustahil bila Allah tidak suka
terhadap kejelekan, kemudian menghendaki atau menginginkan untuk terjadi
(mentaqdirkannya) oleh karena itu merekan menamakan diri mereka dengan
nama Ahlul ‘Adl atau Al – ‘Adliyyah. Al-Wa’du Wal-Wa’id. Yang mereka
maksud dengan landasan ini adalah bahwa wajib bagi Allah untuk memenuhi
janji-Nya (al-wa’d) bagi pelaku kebaikan agar dimasukkan ke dalam
Al-Jannah, dan melaksanakan ancaman-Nya (al-wa’id) bagi pelaku dosa
besar (walaupun di bawah syirik) agar dimasukkan ke dalam An-Naar, kekal
abadi di dalamnya, dan tidak boleh bagi Allah untuk menyelisihinya.
Karena inilah mereka disebut dengan Wa’idiyyah.
Kaum mu’tazilah adalah golongan yang membawa persoalan-persoalan
teologi yang lebih mendalam dan bersifat filosofis daripada
persoalan-persoalan yang dibawa kaum khawarij dan murji’ah. dalam
pembahasan , mereka banyak memakai akal sehingga mereka mendapat nama
“kaum rasionalis Islam”.
Aliran mu’tazilah merupakan aliran teologi Islam yang terbesar dan
tertua, aliran ini telah memainkan peranan penting dalam sejarah
pemikiran dunia Islam. Orang yang ingin mempelajari filsafat Islam
sesungguhnya dan yang berhubungan dengan agama dan sejarah Islam,
haruslah menggali buku-buku yang dikarang oleh orang-orang mu’tazilah,
bukan oleh mereka yang lazim disebut filosof-filosof Islam.
Aliran Mu’tazilah lahir kurang lebih pada permulaan abad pertama
hijrah di kota Basrah (Irak), pusat ilmu dan peradaan dikala itu, tempat
peraduaan aneka kebudayaan asing dan pertemuan bermacam-macam agama.
Pada waktu itu banyak orang-orang yang menghancurkan Islam dari segi
aqidah, baik mereka yang menamakan dirinya Islam maupun tidak.
Secara harfiah Mu’tazilah adalah berasal dari I’tazala yang berarti
berpisah. Aliran Mu’taziliyah (memisahkan diri) muncul di basra, irak
pada abad 2 H. Kelahirannya bermula dari tindakan Wasil bin Atha
(700-750 M) berpisah dari gurunya Imam Hasan al-Bashri karena perbedaan
pendapat. Wasil bin Atha berpendapat bahwa muslim berdosa besar bukan
mukmin bukan kafir yang berarti ia fasik
Imam Hasan al-Bashri berpendapat mukmin berdosa besar aliran
Mu’tazilah yang menolak pandangan-pandangan kedua aliran di atas. Bagi
Mu’tazilah orang yang berdosa besar tidaklah kafir, tetapi bukan pula
mukmin. Mereka menyebut orang demikian dengan istilah al-manzilah bain
al-manzilatain (posisi di antara dua posisi). Aliran ini lebih bersifat
rasional bahkan liberal dalam beragama.
Aliran Mu’tazilah yang bercorak rasional dan cenderung liberal ini
mendapat tantangan keras dari kelompok tradisonal Islam, terutama
golongan Hambali, pengikut mazhab Ibn Hambal. Sepeninggal al-Ma’mun pada
masa Dinasti Abbasiyah tahun 833 M., syi’ar Mu’tazilah berkurang,
bahkan berujung pada dibatalkannya sebagai mazhab resmi negara oleh
Khalifah al-Mutawwakil pada tahun 856 M.
Perlawanan terhadap Mu’tazilah pun tetap berlangsung. Mereka (yang
menentang) kemudian membentuk aliran teologi tradisional yang digagas
oleh Abu al-Hasan al-Asy’ari (935 M) yang semula seorang Mu’tazilah.
Aliran ini lebih dikenal dengan al-Asy’ariah.
Di Samarkand muncul pula penentang Mu’tazilah yang dimotori oleh Abu
Mansyur Muhammad al-Maturidi (w.944 M). aliran ini dikenal dengan
teologi al-Maturidiah. Aliran ini tidak setradisional al-Asy’ariah
tetapi juga tidak seliberal Mu’tazilah.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 Response to "Mu’tazilah"
Post a Comment