Sejarah Negara Australia

Sejarah Negara Australia - Sejarah Australia dimulai ketika manusia pertama migrasi ke Australia dari utara, sekitar 40.000-50.000 tahun yang lalu. Periode ini disebut sebagai prasejarah Australia. Sejarah tertulis pertama Australia dimulai ketika orang-orang Eropa pertama kali melihat negara ini. Dan kemudia dibagi lagi menjadi dua periode: sebelum dan sesudah dia menjadi dominion dari Kekaisaran Britania pada 1901.

Sejarah Sebelum Abad ke 20
Penduduk asli Australia yang dikenal sebagai kaum Aborigin Australia, memiliki sejarah budaya yang terpanjang di dunia, sejak zaman Es yang terakhir. Meskipun misteri dan perdebatan mengaburkan banyak aspek dalam prasejarah Australia, secara umum diakui bahwa manusia pertama berkelana melintasi lautan dari Indonesia sekitar 70.000 tahun yang lalu.

Bangsa Eropa mulai menjelajahi Australia di abad 16; pertama para navigator Portugis diikuti oleh para penjelajah Belanda dan disusul oleh pengusaha sekaligus bajak laut Inggris William Dampier. Kapten James Cook berlayar menelusuri seluruh panjang pantai timur di tahun 1770, lalu berhenti di Botany Bay di tengah perjalanannya; dan tak lama kemudian ia mengklaim benua ini untuk Inggris dan menamakannya New South Wales.

Di tahun 1779, Joseph Banks (seorang naturalis dalam armada Kapten Cook) mengusulkan cara agar Inggris dapat mengatasi masalah kepadatan di penjara-penjaranya dengan mengirimkan narapidana ke New South Wales. Di tahun 1787, armada pertama berlayar menuju Botany Bay, terdiri dari 11 kapal dan 750 narapidana pria maupun wanita. Armada ini tiba tanggal 26 Januari 1788, tapi segera berpindah ke utara ke Sydney Cove, yang memiliki tanah serta air yang lebih baik. Bagi para pendatang baru ini, New South Wales merupakan tempat yang panas, keras dan buruk, dan ancaman kelaparan menghantui koloni ini selama bertahun-tahun. Untuk berjuang melawan alam dan pemerintah yang penuh tekanan, orang-orang Australia baru ini membentuk sebuah budaya yang kemudian menjadi dasar dari legenda 'Aussie battler’ .

Dalam beberapa dekade kemudian, datanglah para pemukim bebas yang tertarik ke Australia, tapi penemuan emas di 1850-anlah yang secara permanen mengubah koloni ini. Arus imigran yang besar dan beberapa penemuan emas yang besar mendorong pertumbuhan ekonomi dan mengubah struktur sosial di koloni. Kaum Aborigin terusir paksa dari tanah suku mereka, saat para pendatang merebut tanah untuk pertanian atau pertambangan.

Di akhir abad ke 19, banyak orang yang mengagungkan daerah pedalaman atau ‘the bush’ (yaitu daerah yang jauh dari kota) dan orang-orangnya. Forum besar untuk 'nasionalisme pedalaman' ini adalah majalah Bulletin yang sangat populer. Halaman-halamannya penuh dengan humor dan sentimen terhadap kehidupan sehari-hari dan para penulis yang terkenal adalah legenda pedalaman Henry Lawson dan 'Banjo’ Paterson.
Sejarah Abad ke Dua Puluh

Australia menjadi nagara saat federasi dari koloni-koloni yang terpisah terbentuk pada tanggal 1 Januari 1901. Tentara Australia turut berperang bersama Inggris dalam Perang Boer dan PDI. Negara ini terpukul berat oleh masa Depresi, saat harga untuk wol dan gandum (dua produk utama dalam ekonomi) jatuh. Di tahun 1931, hampir sepertiga pencari nafkah menjadi pengangguran, dan kemiskinan pun merajalela. Namun, di tahun 1933, perekonomian Australia mulai pulih. Saat PDII pecah, balatentara Australia turut berjuang bersama Inggris di Eropa, namun Amerika Serikat-lah yang membantu melindungi Australia dari serbuan pasukan udara Jepang, dengan mengalahkan mereka di Perang Laut Coral.

Setelah PDII, datanglah arus imigrasi dari Eropa, yang memberikan sumbangsih besar terhadap negara, menghidupkan kembali budaya dan memperluas wawasan pandang Australia. Era pasca perang ini merupakan saat-saat booming di Australia, karena adanya permintaan yang tinggi terhadap bahan baku mentah. Australia mengikuti Amerika Serikat dalam Perang Korea, dan di tahun 1965 mengirimkan pasukan untuk membantu AS di Perang Vietnam, meskipun dukungan terhadap keterlibatan Australia ini tidaklah menyeluruh. Masalah bagi banyak pemuda Australia adalah wajib militer yang diterapkan dalam tahun 1964.

Kerusuhan akibat wajib militer ini merupakan salah satu faktor naiknya partai Buruh Australia (Labor Party) ke jenjang kekuasaan di tahun 1972, di bawah kepemimpinan Gough Whitlam. Pemerintahan Whitlam menarik pasukan Australia dari Vietnam, menghapuskan biaya pendidikan tinggi dan dinas nasional, menerapkan sistem perawatan kesehatan yang gratis dan tersedia untuk umum, serta mendukung hak tanah bagi masyarakat Aborigin.

Namun demikian, pemerintahan ini mendapat tentangan dari Senat dan berkembangnya isu salah manajemen. Tanggal 11 November 1975, gubernur jenderal (perwakilan kerajaan Inggris di Australia) membubarkan parlemen dan membentuk pemerintah sementara yang dipimpin oleh ketua Partai Liberal, Malcolm Fraser. Langkah ini merupakan yang pertama kali dilakukan oleh gubernur jenderal. Koalisi partai Liberal yang konservatif dengan Partai Tanah Air Nasional memenangkan pemilu berikutnya. Pemerintahan partai Buruh baru kembali di tahun 1983, saat mantan pemimpin serikat pekerja, Bob Hawke, berhasil memenangkan partainya.

Sejarah modern dan Australia masa kini
Setelah menjabat selama 11 tahun di pemerintahan, Partai Liberal Australia yang dipimpin oleh John Howard tidak terpilih lagi di Pemilu 2007.Dari Partai Buruh, Kevin Rudd dilantik sebagai Perdana Menteri Australia yang ke-26 pada tanggal 3 Desember 2007.
Australia memiliki sistem pemerintahan parlemen dua tingkat, berdasarkan sistem Westminster. Terdapat tiga tingkat pemerintahan: federal, negara bagian dan lokal. Parlemen federal terdiri dari Dewan Perwakilan (House of Representatives) dan Senat. Partai yang menduduki jumlah kursi terbanyak di Dewan Perwakilan akan membentuk pemerintahan.

Di paro terakhir abad 20, satu bagian dari budaya dan sejarah Australia yang kurang dikenal mulai muncul dan mendapatkan pengakuan yang lebih luas, khususnya melalui seni, sastra dan film; dan sebagai akibatnya, ikon ‘battler’ menjadi semakin kurang relevan. Para imigran membawa kisah, budaya dan mitos-mitos mereka sendiri, untuk berbaur dengan kalangan kolonial Australia. Juga ada pengakuan yang sudah lama ditunggu, yaitu Aborigin Australia merupakan fundamental dari definisi sejati budaya nasional masa kini.

‘Impian Besar Australia’ yaitu memiliki rumah, yang dimulai di masa keemasan di tahun 1950-an, terus berlanjut dan menghasilkan suburbanisasi besar-besaran di kota-kota Australia, khususnya di Sydney dan Melbourne. Arsitektur Australia masa kini sebenarnya tidak memiliki gaya yang khas, dan tren dari luar negeri seringkali mendominasi proyek-proyek pembangunan besar. Dalam banyak hal, bangunan ‘modern’ yang paling menarik sebenarnya merupakan daur ulang bangunan bergaya Victoria atau dari era lainnya.

Meskipun demikian tetap ada pengecualian, dan yang terkenal antara lain Convention Centre di Darling Harbour Sydney, Melbourne Museum, serta Cultural Centre di Uluru-Kata Tjuta National Park di bagian tengah Australia, yang didesain sesuai konsultasi dengan dengan pemilik tradisional cagar alam tersebut. Kompleks Federation Square Melbourne, dengan bentuk geometriknya yang tajam, mencerminkan arsitektur modern yang penuh tantangan, tepat di jantung kota.

Sehatnya perekonomian saat ini terbukti dari dolar Australia yang relatif tinggi, peningkatan perdagangan dengan Cina dan beberapa keuntungan yang tinggi dan mencetak rekor pada bisnis-bisnis setempat. Semua ini dibarengi dengan inflasi dan angka pengangguran yang rendah. Namun, di sisi negatifnya adalah meningkatnya defisit perdagangan negara sampai $20 miliar, hutang rumah tangga rata-rata yang melonjak tinggi dan harga perumahan di pusat urban yang semakin tak terjangkau.

Faktor-Faktor Yang Mendorong Gerakan Federasi
Ketika Australian colonies government act di keluarkan oleh pemerintahan Inggris,di Australia telah berdiri empat koloni yang satu dengan yang lain terpisah, yaitu new south wales sebagai koloni yang tertua, Tasmania yang sejak 1825 dipisahkan dari New South Wales, Australia barat yang berdiri sejak tahun 1829 namun karena berbagai masalah tumbuh dan berkembnagnya dengan sangat lambat, dan Australia selatan yang berdiri sejak tahun 1836 berdasarkan teori kolonisasi yang rasional. Dengan dinyatakan secara eksplisit dalam undang-undang itu bahwa Victoria dipisahkan dari new south wales, maka jumlah koloni yang masing-masing brdiri sendiri bertambah menjadi lima.

Sesungguhnya pada tahun 1847, Earl Grey, menteri urusan jajahan pada waktu itu, telah menyadari perlunya penanganan kepentingan bersama di antara koloni-koloni yang berbeda-beda di Australia itu. Misalnya bea ekspor dan impor, lalu lintas surat-surat pos, dan organisasi transport.

Pada tahun 1850 rancangan undang-undang tentang pembentukan General Assembly of Australia itu diserahkan kepada parlemen Inggris. Ide yang menjurus kepada pembentukan federasi itu tidak menarik, baik bagi koloni-koloni Inggris di Australia maupun bagi perlemen Inggris, khususnya House of Lords. Sementara itu Earl Grey juga tidak terlalu gigih memperjuangkannya. Akhirnya rancang itu di tolak oleh parlemen Inggris.

Dorongan untuk bersatu itu dating juga dari organisasi para pekerja yang di Australia disebut trade union. Berbagai terde union di koloni-koloni yang berbeda itu menghendaki keseragaman aksi terhadap tenaga kerja cina. Jumlah jam kerja perhari, serta perlindungan hak asasi mereka.

Perkembangan alat-alat perhubungan serta hal-hal yang berkaitan dengan surat-surat pos, juga mendorong persatuan. Dalam kaitan dengan perkembangan alat-alat perhubungan ini., Clack, (1986) menceritakan saat penyambungan rel kereta api antara New South Wales dengan viktoria, dan juga antar koloni yang lain. Demikian juga penyambungan jaringan telepon antar ibu kota antar koloni di Australia tersebut.

Mewujudkan Federasi Australia
Dalam dua decade terakhir abad ke-19 banyak politisi kenamaan dari dua koloni-koloni di Australia memprakarsai pembentukan satu bangsa Australia.
Hasil referendum di empat koloni tersebut pada tahun 1898 diperoleh hasil sebagai barikut:

  1. Viktoria, Australia Selatan dan Tasmania menyetujui system pemerintahan sebagaimana digariskan dalam konsep konstitusi yang di hasilkan oleh konvensi kedua.
  2. Mayoritas rakyat di empat koloni menghendaki system pemerintahan baru dalam pembentukan federasi
  3. Sekalipun mayoritas rakyat di empat koloni menghendaki system pemerintahan yang baru itu, namun referendum ini tergolong gagal karena New South Wales tidak berhasil mencapai jumlah dukungan yang ditetepkan.
Koloni-koloni yang lain merasa bahwa federasi tanpa New South Wales merupakan sesuatu yang tidak masuk akal. Perasaaninilah yang mendorong mereka menyetujui beberapa amandemen dalam pertemuan kepal-kepal pemerintahan yang diadakan sesuadah referendu tersebut.

Pada tahun 1899 diadakan referendum yang kedua. Kali ini lima koloni menyelenggarakan referendum, dan hasilnya adalah :
  • Mayoritas penduduk di lima koloni menyetijui federasi dengan konstitusi yang sudah mendapat amandemen.
  • Jumlah suara yang di setujui di New Soulth Wales melebihi jumlah yang ditentukan, sehingga referendum ini berhasil menggolkan gerakan federasi.
Tanpa menunggu Australia Barat, kelima koloni mengirimkan rancangan konstitusi federasi itu ke Inggris untuk disahkan oleh parlemen Inggris. Pemerintahan Inggris dalam tahun 1900 mengeluarkan undang-undang yang mengijinkan pembentukan federasi tanpe Australia Barat. Undang-undang ini disebut Australian Commonwealth act. Sementara itu Australia barat mengadakan referendum dan hasilnya adalah 44.800 setuju, dan 19.601 menolok. Dengan hasil ini maka Australia Barat bergabung dalam federasi. Dengan demikian, ketika commonwealth of Australia menjadi kenyataan, federasi itu meliputi enam koloni yang nantinya menjadi Negara bagian.

Demikian akhirnya gerakan persatuan di Australia berhasil setelah 50 tahun lamanya hidup terpecah-pecah.the commonwealth of Australia menjadi kenyataan pada tanggal 1 Januari 1901 kurang lebih tiga minggu sebelum ratu viktoria meninggal. Pada tanggal 9 Mei 1901 raja Edward VII, di wakili oleh anaknya Duke Of York membuka secara siding secara resmi sidang pertama parlemen federal di Melbourne. Perdana menteri perteme untuk federasi yang baru lahir ini adalah Edmund Barton. Melbourne sementara menjadi tempat kedudukan pemerintahan federal sampai kemudian dipindahkan ke Canberra pada tahun 1927.

Sistem Pemerintahan
Commonwealth of Australia terdiri dari enam bagian. Sebagaimana telah di utarakan di muka, konvensi federal tahun 1897 memilih sistem pemerintahan yang mirip dengan Amerika Serikat. Kekuasaan mana yang diserahkan kepada pemerintah sentral ( federal) di tetapkan secara tegas, dan sisanya berada pada Negara bagian atau state. Dengan demikian di Australia terdapat dua susunan pemerintahan, yaitu pemerintahan sentral atau pemerintahan federal dan pemerintahan Negara bagian.

Sistem pemerintahan federal dalam garis besar dapat dideskripsikan sebagai berikut :
  1. Commonwealth of Australia di dasarkan pada konstitusi tertulia yang hanya bisa diubah melalui referendum.
  2. Kepala Negara, yang resminya memegang kedaulatan atas Australia adalah Gubernur Jendral sebagai wakil raja/ratu Inggris. Dalam praktek pemerintahan sehari-hari, gubernur jendral hanya sebagai lambing, karena pemerintahan sehari-hari di pimpin oleh perdana menteri.
  3. Parlemen terdiri dari dua badan, senate dan house of refresentatives. Senat merupakan wakil Negara-negara bagian.
  4. Untuk memimpin pemerintahan, gubernur jendral mengundang orang yang secara mayoritas mendapat dukungan dari house of representatives, untuk diangkat menjadi perdana menteri.
  5. Perdana menteri yang harus seorang anggota house of representatives memilih menteri-menteri yang juga harus anggota house of representetives atau senate.
  6. Perdana menteri dan cabinet menyelenggarakan pemerintahan sehari-hari, membuat keputusan politik dan melaksanakanya, dan juga mempersiapkan rancangan undang-undang untuk di ajukan kepada parlemen.
  7. Suatu rancangan harus didiskusikan dengan senate dan house of representatives. Suatu undang-undang harus di setujui oleh kedua badan perlemen tersebut dan di tanda tangani oleh Gubernur Jenderal.
  8. Gubernur jenderal berhak untuk memberhentikan perdana menteri walaupun mendapat dukungan dari mayoritas house of representatives, lalu mengangkat perdana menteri yang baru.
Pemerintahan di Negara bagian, nampaknya di susun meniru sistem yang berlaku di Inggris .

Tiap Negara bagian di kepalai oleh gubernur yang mewakili gubaernur Jenderal.
Parlemen di Negara-negara bagian terdiri dari dua badan kecuali di queensland hanya terdiri dari satu badan kepala pemerintahan di Negara bagian di sebut premier yang dalam bahasa Indonesia juga diterjemahkan perdana menteri

Bidang-bidang yang menjadi tanggung jawab, pemerintah Negara bagian :

  • Pendidikan, meliputi oendidiakn dasar, menengah, serta pendidikan guru
  • Pembinaan hukum dan ketertiban masyarakat
  • Pembanguna, yang meliputi penjualan tanah dan proyek-proyek bangunan
  • Pemeliharaan dan perlindungan lingkungan hidup
  • Penyediaan jasa listrik, gas, air, dan sanitasi
  • Perumahan rakyat
  • Kesehatan, termasuk penyediaan rumah sakit dan perawatan
  • Transportasi local

Partai Politik
Di Australia hanya ada tiga partai utama, yaitu Partai Buruh Australia, Partai Liberal, dan partai country. Partai liberal dan partai country biasanya sling mendukung dan bergabung atau berkoalisi menghadapi partai Buruh , karena itu dalam berbagai literatur, keduanya disebut Non-Labor atau Non-Labor Coalition.

Ketiga partai menitik beratkan dukunganya pada system pemerintahan yang didasarkan pada pemilihan biasa secara rahasia. Berkaitan de3nga usaha masing-masing untuk memperoleh kekuasaan, kedua pihak. Partai Buruh dan koalisi liberal-country, sering menuduh pihak lain berbuat di luar system parlemen untuk mencapai tujuannya.

Demikianlah ketiga partai politik itu silih berganti memegang pemerintahan. Kemenangan salah satu partai politik dalam pemilihannya, tidak hanya ditentukan oleh anggotanya akan tetapi sering kali ditentukan oleh para pemilih yang terkenal dengan sebutan floating voter. Mereka ini menentukan pilihan setelah mengetahui lewat kampanye, program partai man yang cocok dengan kepentingannya. Dengan kata lain bahwa partai mana yang berhasil meraih kelompok floating voter ini kemungkinan dapat memenangkan pemilihan.

Pada tahun 1954, dalam tubuh partai Buruh terjadi perpecahan sehingga lahir partai buruh demokratis. Partai ini di bentuk sebagai partai yang anti komunis, dan menarik anggota anggotanya dari kelompok indutri. Partai ini yakin nagwa partai buruh Australia sudah disusupi oleh paham dan orang-orang komunis yang menyebabbkan partai tersebut terlalu radikal untuk ukuran Australia. Partai buruh demokratis ini mampu bertahan selam 24 tahun : tahun 1978 partai ini dinyatakan bubar.

Pada tahun 1977 suatu partai baru lahir lagi di Australia. Namanya adalah partai Demokrat Australia. Partai ini didirikan oleh pendukung-pendukung Partai Buruh dan partai Liberal yang merasa yakin mempunyai sudut pandang yang sangat dekat, dank arena itu bersatu membentuk satu partai.

Kepercayaan kaum aborigin akan suatu benua yang abadi
Kaum Aborigin di Australia diperkirakan tiba di sini dengan perahu dari Asia Tenggara pada saat Abad Es terakhir, yaitu setidaknya 50.000 tahun yang lampau. Di masa penjelajahan dan bermukimnya bangsa Eropa, sekitar satu juta orang Aborigin telah tinggal di benua ini sebagai pemburu dan pengumpul makanan. Mereka terbagi dalam 300 klan dan berbicara dalam 250 bahasa dan 700 dialek. Setiap klan mempunyai hubungan spiritual dengan tanah tertentu, tapi juga berkelana jauh untuk berdagang, mencari air dan hasil bumi musiman, serta untuk mengadakan ritual dan pertemuan totemik.

Meskipun tanah air mereka sangat beragam – mulai dari gurun pedalaman dan hutan hujan tropis sampai pegunungan bersalju – semua orang Aborigin memiliki kepercayaan yang sama mengenai “Dreamtime” atau “Masa Impian”, sebuah alam magis yang abadi. Menurut mitos kaum Aborigin, para leluhur roh totem membentuk seluruh aspek kehidupan saat Masa Impian penciptaan dunia. Para leluhur roh ini senantiasa menghubungkan fenomena alam, dan juga masa lalu, masa kini dan masa depan, melalui semua aspek budaya Aborigin.

Sejarah Negara Kamboja

Sejarah Negara Kamboja-Seperti yang tercatat dalam sejarah Khmer, pada awal Masehi, Kaundinya (dipercaya sebagai seorang Brahmana) yang berasal dari India mengalahkan dan menaklukkan pribumi dari Queen Soma, orang yang dia nikahi (Groslier 1962:55), Dilantik sebagai Raja Pertama dari Founan (Funan), Kaundinya memiliki julukan "King of the Mountain" (ibid:53). Pusat dari Founan berada di Delta Mekong paling bawah, tetapi wilayahnya dibatasi oleh bagian Selatan Vietnam, pertengahan Mekong, dan sebagian besar dibatasi oleh Lembah Menam dan Malay Peninsula. Tidak mungkin bias menunjukkan dengan cepat dan tepat ibukota dari Vyadhapura, yang disebut "The Hunter's City." Menjelang pertengahan abad ke-6 sesudah masehi, Founan sedang mengalami kemunduran yang krisis. Chenla, sebuah Negara bagian yang terletak di pertengahan Mekong di wilayah Bassac (bagian Selatan dari Laos sekarang), berada di bawah penguasaan Champa pada akhir abad ke-5 sesudah masehi
. Menurut sejarah T'ang, kira-kira 706 negara dibagi dalam dua Negara bagian. Di Bagian Utara, ada beberapa gunung dan lembah, dan kemudian dikenal sebagai Chenla Kok (Daratan Chenla), menempati bagian bawah dan tengah Laos di wilayah Bassac. Di bagian Selatan, perbatasan laut dan dikelilingi oleh beberapa danau, yang dikenal sebagai Chenla Toeuk (Perairan Chenla), terbentang disepanjang kolam Mekong, dari air terjun Khon sampai ke laut. Jayavarman II (802-850), keturunan dari beberapa dinasti pada abad ke-8, dipercayai telah mengungsi ke Jawa pada saat kekacauan. Tepat pada awal abad ke-9, dia kembali, memerdekakan, dan mempersatukan Chenla. Dia dikenal sebagai penemu dari kerajaan Angkorean. Penyatuan Negara tersebut dimulai sekitar 800 negara, dengan berpusat di danau Tonle Sap. Kamboja dipersamakan oleh Khmer pada akhir abad ke-8, setelah wilayah Mon disepanjang pantai Gulf of Siam juga berada dibawah kendali Khmer. Kerajaan itu bersatu hingga pertengahan abad ke-10. Peradaban pertama dari Chenla adalah banyak candi-candi tiruan, patung, dan prasasti yang didirikan seperti apa yang telah kita ketahui sebagai "Seni dari orang-orang Angkorean sebelumnya." Raja Jayavarman II kemudian menemukan ibukota yang dekat dengan Roluos di provinsi Siem Reap pada awal abad ke-9 (Groslier 1962:91, Coedes 1963:79, Stierlin 1983:17-19). Dari sudut pandang keagamaan, telah dikatakan bahwa semua agama yang ada di Kamboja berasal dari India, yang pertama ajaran Brahmana dan kemudian agama Budha. Dalam waktu yang panjang, ajaran Shiva telah menjadi agama di Negara bagian, sedangkan ajaran Vishnu hanya ada di istana. Bagaimanapun, agama Budha yang diperkenalkan di Asia tenggara selama abad ke-3 sebelum masehi, telah diterima secara luas oleh orang-orang pribumi, dan hidup bersama dengan agama-agama lainnya (Pang 1981:92, Sam 1987:1, Pak Nam 1988:82). Selama masa Angkor sebelumnya, agama Hindu tidak terlalu banyak diketahui masyarakat; hanya pada kelas-kelas penting. Masyarakat menganut garis keturunan animism-budaya tua Mon-Khmer. Peradaban Khmer pada pokoknya berhubungan dengan agama. Candi-candi dengan symbol dari perintah yang bersifat ketuhanan. Jayavarman II sebagai penemu kerajaan Khmer menetapkan kekuasaannya pada sebuah kediaman keagamaan, Lembaga deva Raja atau God-King (raja yang dikenal sebagai Tuhan). Angkor adalah kerajaan yang paling kaya dan jaya pada masa sejarah Khmer. Masa Kejayaannya (sejak abad ke-9 sampai abad ke 15) yang sama bagusnya dengan candi Angkor Vatt, yang dibangun oleh Raja Suryavarman II (1113-1150), dan beberapa seni klasik Khmer yaitu arsitektur, pahatan,kesusastraan,tarian,dan musik. Jayavarman VII (1181-1218) adalah seorang penganut agama Budha, sangat saleh,dan penuh perasaan. Selama masa ini (awal abad ke-12) Mahayana agama Budha memiliki dukungan kerajaan yang kuat dan oleh karena itu bisa menjadi agama yang dianut di Negara bagian untuk pertama-tama. Kemudian, pada awal abad ke-14, Khmer telah berubah menjadi Theravada (Hinayana) agama Budha dan melanjutkan untuk menganutnya sampai sekarang (sam 1987:1). Telah tercatat bahwa selama pada saat itu Jayavarman VII dianggap sebagai Buddha Raja atau "Buddha-King" (Raja yang dikenal sebagai Budha), menggantikan figure yang sebelumnya yaitu Deva Raja (Coedes 1963:98). Jayavarman VII Berjaya pada tahun 1181 dan menetapkan ibukota yang baru yaitu Angkor Thomm, tempat dimana dia membangun candi besar dengan 4 sisi yang dikenal sebagai Bayon. Setelah kematiannya pada tahun 1218, tidak ada lagi pembangunan candi-candi disana. Masa kejayaan itupun berakhir. Dibawah kekuasaan pengganti pertamanya, kekuatan Khmer menurun. Pada tahun 1352 Siamese berhasil merebut Angkor dan mendudukinya sampai tahun 1357. Pada tahun 1430 siamese meluncurkan serangan kedua mereka kepada Angkor, memaksa Khmer untuk menyerahkannya pada tahun 1432 (Delvert 1983:34). Pada masa Lungvek-Oudong (sejak abad ke-15 sampai abad ke-19), yang diikuti dengan salah satu yang tidak dikenal. Setelah keruntuhan Angkor, Negara tidak mampu melawan serangan Siamese, yang mengakibatkan adanya penggabungan provinsi setalah wilayah provinsi Khmer. Sesudah itu, Khmer memindahkan ibukota-ibukota mereka dari waktu ke waktu. Akhirnya, dengan bantuan dari Siamese pada tahun 1846, dan Ang Duong dilantik sebagai raja oleh wakil dari Siam dan Dai Viet (Vietnam). Dia berkuasa sejak tahun 1847 sampai 1860, yang kemudian dia meninggal (Leang 1965:13). Masa keruntuhan (pada abad ke-15 sampai abad ke-19) setelah masa kejayaan Angkor, memperlengkapi kita beberapa seni Khmer. Tidak sampai Raja Ang Duong naik tahta, seni Khmer dihidupkan kembali dan mulai maju kembali. Abad ke-19 dikenal sebagai masa yang sangat penting dan bisa disebut "Masa Renainsanse," untuk pertama kalinya setelah keruntuhan kerajaan, yang diatur oleh raja yang terdidik dan matang. Raja Ang Duong melanjutkan pendidikan dan bekerja untuk mengatur ulang infrastruktur Negara (Leang 1965:72, Ly 1969:83). Dibawah masa Oudong, ibukota dipindahkan di bagian belakang kota sekarang. Kota Phnom Penh didirikan pada pertemuan empat sungai Mekong, yang kemudian dikenal sebagai Chaktomouk, yang berarti "empat sisi", setelah masa tersebut diberi nama. Selama masa Chaktomouk sejak tahun 1864-1953 Kamboja berada di bawah perlindungan Prancis. Kerajaan Khmer, dipimpin oleh pangeran Norodom Sihanouk memerintah Kamboja sampai 18 Maret 1970 yang pada saat itu Pemerintahan dipimpin oleh Marshal Lon Nol menggulingkan kerajaan dan memerintah Kamboja sampai 17 April 1975 yang ketika itu direbut oleh Khmer Rouge dibawah pimpinan Pol Pot sampai 7 januari 1979. Khmer Rouge dipecat oleh orang-orang Republik sosialis-komunis dari Kampuchea dibawah kekuasaan Heng Samrin. Pada tanggal 21 Oktober 1991, Perjanjian damai ditandatangani oleh orang-orang dalam partai politik perang di Paris, yang menghasilkan pemilihan nasional pada tahun 1993 dibawah dukungan United Nations Transitional Authority in Cambodia (UNTAC). Setelah pemilihan pada tahun 1993, Kamboja menganut konstitusi yang baru, yang institusi sebelumnya adalah Sisitem Kerajaan yang dipimpin oleh Norodom Sihanouk sebagai raja dari Kamboja. Dibawah pemerintahan Khmer Rouge (1975-1979), Kamboja masuk ke dalam sebuah julukan "Hell on Earth." Hampir dua juta orang Khmer dibunuh atau meninggal karena penyiksaan, kelaparan, dan penyakit. Rezim Radikal Khmer Rouge menghancurkan yayasan Khmer. Mereka menyebabkan kebodohan, kecurigaan, demoralisasi, dan kemiskinan. Setelah tahun 1979, budaya Khmer telah dihidupkan kembali hingga saat ini. Para Artis datang beramai-ramai, berkelompok, dan bekerja keras untuk membangun kembali kekuatan budaya mereka. Institusi budaya dibuka kembali dan keterampilan seniman Khmer dipelajari kembali. Mereka telah berusaha untuk bangkit kembali, menjaga, memelihara, dan mempromosikan budaya Khmer. Beberapa tradisi yang telah mati, yaitu sbaek poar (berbau kewayangan), ikhaon ape (teater ape), ikhaon pol srey (teater naratif wanita), dan ikhaon ken (teater suara) telah bangkit kembali. Mereka juga berusaha untuk membuat program-program untuk mendukung budaya yang telah ada, festifal, publikasi, rekaman, wisata, dan kontak budaya. MUSIK KAMBOJA Musik Khmer dikatakan telah ditemukan sendiri dari empat kekuatan yang berpengaruh: penduduk pribumi Khmer sebelum datangnya budaya-budaya asing, kemudian diikuti oleh Indian, kemudian cina, dan yang terakhir dari budaya Eropa. Manifestasi India bisa dilihat pada agama: Ajaran Brahmana, Hindu, dan Budha; pada literature: seperti Ramayana; dan pada music, shawms dan gendang dua sisi berbentuk barrel. Pengaruh dari Cina bisa dilihat seperti berbentuk biola yang memiliki dua senar, drum, dan simbal. Sedangkan perwujudan budaya Eropa sperti notasi musik dan alat-alat musik. Berbicara masalah music, Kamboja memiliki jenis music yang beragam, perbedaannya hanya antara Khmer atau kadang-kadang dari Khmer Kandal yang berarti "Middle Khmer" dan beberapa kebangsaan atau beberapa keompok etnik yang minoritas. Peradaban Khmer mencapai puncaknya pada masa Angkor, sejak abad ke-19. Dalam kekompleksannya, ada beberapa budaya yang besar, symbol, dan penyatuan beberapa budaya. Melukiskan pada diinding di sekitar candi-candi di daerah Angkor, kita dapat melihat tokoh seperti apsara (bidadari surgawi atau penari), dengan alat-alat music yang bervariasi, yaitu pin (harp yang kalihatan tulangnya), memm (bowed monochord), khsae muoy (music haluan atau plucked monochord), sralai (bambu yang berlipat empat atau oboe), korng (gong), chhing (simbal kecil), sampho (gendang barel dua sisi), skor yol (gendang barel yang digantung), dan skor thomm (gendang dua sisi yang besar). Instrumen pada musik Khmer dan system nada pada ansambel adalah sama dengan yang di sajikan pada relief Angkor.sehingga kita mempunyai alas an mempercayai bentuk musikal dari Khmer kuno. Terdapat beberapa ansambel musik di Kamboja, yaitu: arakk ( penyembahan kepada roh), kar (perkawinan), yike (teater rakyat asli muslim), dan basakk (teater asli orang cina). Ansambel ini jarang diperdengarkan, dan selalu ditampilkan pada acara penyembahan kepada roh, perkawinan, pemakaman, atau tari dan teater. Instrumen ini meliputi: terompet, sangkakala, suling, flute, shawm, alat musik gesek, dulcimer, zither, lute, xilofon, gong , simbal,dan drum.Pencipta alat musik mereka tidak diketahui. Secara tradisional, beberapa komposisi tidak ditulis, tetapi diturunkan secara oral. Musik Khmer bertahan pada stratifikasi polifoni dan berdasarkan tangga nada pentatonic (lima nada), namun heptatonik (tujuh nada) tidak digunakan. Hiasan atau ornamentasi adalah karakter musik Khmer.Musisi yang memainkan memiliki melodi sendiri dalam pikirannya. Musik Khmer aspek penting pada kehidupan dan kebudayaan Khmer. Musik melambangkan sejarah, masyarakat, kesenian, adapt istiadat ,dan kebudayaan Kamboja. Musik Khmer mempunyai fungsi ganda; sebagai ritual dan hiburan. Yang pertama, musik memiliki kekuatan untuk memanggil roh. Dan membangkitkan imajinasi pendengar. Musik mengiringi setiap aspek bangsa Khmer sejak masa lampau. Musik mencerminkan jiwa dan karakter Khmer. Di Kamboja, satu-satunya institusi yang menyediakan pendidikan formal dalam musik adalah RoyalUniversity of Fine Arts di Phnom Penh. Disamping itu, musik diturunkan oleh gurunya secara formal pada waktu yang tidak formal, kebanyakan pada keluarga musisi. Sesungguhnya, setiap desa memiliki ansambel musik. Musisi wanita jarang ditemukan, vokalis wanita adalah hal yang biasa. Sistem Tuning Pada buku ini, penetapan syarat pembagian "nada dengan jarak yang sama" berhubungan dengan jarak tujuh nada system oktaf. Kata "kunci" menunjukkan tinggi rendahnya bunyi perkusi dan gong atau seperti penjarian tidak selalu seperti musik barat. Konsep dan pernyataan "interval equidistant" di Khmer atau Asia Tenggara. Tidak dapat dijadikan teori khayalan musik Khmer. Dapatkah seorang musisi memulai karya musik pada berbagai kunci-dasar teoretikal equidistant. Musisi Khmer yang memainkan ansambel, memulai dan mengakhiri karya musik pada tinggi rendah nya nada yang telah ditetapkan sebelumnya. Bentuk yang dihasilkan bukan sebuah trasposisi yang sama dengan tinggi rendah bunyi asli namun kenyataan nya dengan bentuk yang lain. Ketika memainkan musik di kunci yang tidak tepat adalah seperti bahasa Khmer yang diucapkan dengan bahasa Cina atau Vietnam dengan aksen yang kuat. Equidistant adalah teori dan system. Setiap musisi Khmer memiliki system pengaturan nada sendiri ketika mengatur nada • Ketika mengatur nada, seorang pemain mencoba bermain tingkat kelima dengan baik. Musisi Khmer mengatur nada pada instrument yang menggunakan empat dan lima, dan oktaf yang sempurna. • Penyanyi khmer tidak menyanyikan interval equidistant. • Ada semacam "kunci yang salah" pada musik Khmer, bertentangan dengan konsep dan teori equidistant. Memakai bagian musik dengan kunci yang salah akan membuat sralai pada situasi yang memalukan. • Yang menarik, musi Khmer dapat dimainkan instrument musik barat dengan tingkat kepuasan. Terdapat ansambel musik modern dan popular di kenal sebagai mohori samai, menggunakan instrument seperti biola, banjo dan mandolin, gitar dan akordion. Singkatnya, ketika penyanyi tidak memainkan interval equidistant, alat musik contohnya: sralai, tidak dibentuk untuk menghasilkan interval equidistant. Musik Barat digunakan untuk memainkan musik Khmer tidak tepat dalam menghasilkan interval equidistant, dan musisi tidak bias memulai disembarang kunci pada musik Khmer. Tangga Nada Musik Khmer Berlandaskan pada dua tangga nada utama: pentatonik lima nada, dan heptatonik tujuh nada. Tidak ada syarat pada tangga nada Khmer sampai sekarang, ketika kaum terpelajar dan peneliti mulai tertarik pada hal ini. Pada penjelasan tentang rekaman bunyi Sebuah kumpulan Musikal Asli: Kamboja, Danielou mengungkapkan tangga nada Khmer untuk mendukung teorinya: • Dia percaya Khmer memiliki tangga nada ghandara-grama dari India. • Dia menyarankan Khmer memiliki sebuah tangga nada setengah nada tanpa interval kelima dan keempat augmented. • Dia berpikir Khmer meminjan tangga nada China. • Tangga nada Khmer bersifat heptatonik (equidistant). • Pada saat ini, dia melihat Khmer memiliki dua tangga nada,pentatonic dan heptatonik berdasarkan tangga nada China. • Dia membagi komposisi Khmer kedalam :kuno" dan "modern". Memasuki bahan pembuatannya, ada dua tangga nada pentatonik anhemitonik dan heptatonik. Dalam konteks pinn peat, tangga nada berdasarkan kunci G (diperkirakan berdasarrkan kunci Barat), ditekanan warna bagian terakhir. Sistem Seperti tangga nada, tidak ada cara yang pasti, dan musisi Khmer tidak mengungkapkan secara lisan. Sangat suah untuk bertanya kepada musisi Khmer system apyang digunakan. Secara keseluruhan, system Khmer dapat diciptakan, termasuk kedalam parameter dibawah ini: • Sistem tidak dapat dipisahkan dari tangga nada, pusat tinggi rendah nada, contohnya, G konstan (dalam tangga nada G) semua adalah final (termasuk G itu sendiri). • Sistem, dikenali bergantung pada finalnya dalam hubungan prinsip tinggi rendahnya nada. • Pada bidang ini, tangga nada adalah echelle generale, sistemnya gamme particuliere. • Karena system berdasarkan kepada final yang berbeda menunjukkan struktur yang masing-masing berbeda disetiap system. • Sisitem Khmer di identifikasidengan tinggi rendah nya nadafinal. Metabol Pendengar yang tidak tahu musik Khmer mungkin memiliki tanggapan semua bagian musiknya sama. Ini karena pada tingkat tertentu sama. Sebagian besar bagian pinn peat berhubungan pada tangga nada G. Bagaimanapun beberapa bagian seperti Lo dan Rev, menggunakan perubahan metabol pada level nada yang berbeda. Fungsi metabol sama dengan transposisi. Proses metabol musik Khmer mudah. Pertama, tidak mengikut sertakan bagian harmonic dan resolusi terhadap kunci awal dan tonalitas yang ditandai modulasi Barat. Kedua, tidak ada perubahan kunci warna diganti ke tonal baru. Ketiga, level baru sama dengan bagian sebelumnya dengahn syarat dari panjang bagian, progresi nada, dan struktur, kecuali dapat di tunjukkan pada sebuah gerakan melodis yang berbeda. TEMPO DAN RHYTEM Tidak ada tempo tertentu dalam music Khmer. Dalam prakteknya, rhytem alat music tertentu seperti drum mengatur tempo untuk ensambel. Dalam istilah rhythmic, seseorang bisa saja kecewa dengan "irama yang kuat" dan "tekanan."Dengan kata lain, irama yang kuat dari gendang bisa terjadi pada tekanan dari gendang. Rhythmik Khmer yang paling pendek mempunyai paling sedikit delapan pukulan (atau 4/4). Rhythmik dimulai dari irama yang pelan dan kemudian berakhir pada irama yang kuat. Lagu-lagu dikelompokkan sesuai dengan beberapa aturan rhytmik seperti muoy choun, pi choan, dan bey choan. Kemudian lagu tersebut dikenal sebagai Toch Yomm Muoy Choan, Khyal Bakk cheung Phnomm Pi Choan, Chvea Srokk Morn Bey Choan,dll. Ketiga rhytmik dibedakan oleh panjangnya cycle. Setiap rhytmik mempunyai sebuah rhytmik prase dan nuansa yang mencocokkan panjangnya melodi yang sama.

Sejarah Negara Timor Leste

Sejarah Negara Timor Leste-Sejarah Timor Leste berawal dengan kedatangan orang Australoid dan Melanesia. Orang dari Portugal mulai berdagang dengan pulau Timor pada awal abad ke-15 dan menjajahnya pada pertengahan abad itu juga. Setelah terjadi beberapa bentrokan dengan Belanda, dibuat perjanjian pada 1859 di mana Portugal memberikan bagian barat pulau itu. Jepang menguasai Timor Timur dari 1942 sampai 1945, namun setelah mereka kalah dalam Perang Dunia II Portugal kembali menguasainya.
Pada tahun 1975, ketika terjadi Revolusi Bunga di Portugal dan Gubernur terakhir Portugal di Timor Leste, Lemos Pires, tidak mendapatkan jawaban dari Pemerintah Pusat di Portugal untuk mengirimkan bala bantuan ke Timor Leste yang sedang terjadi perang saudara, maka Lemos Pires memerintahkan untuk menarik tentara Portugis yang sedang bertahan di Timor Leste untuk mengevakuasi ke Pulau Kambing atau dikenal dengan Pulau Atauro. Setelah itu FRETILIN menurunkan bendera Portugal dan mendeklarasikan Timor Leste sebagai Republik Demokratik Timor Leste pada tanggal 28 November 1975. Menurut suatu laporan resmi dari PBB, selama berkuasa selama 3 bulan ketika terjadi kevakuman pemerintahan di Timor Leste antara bulan September, Oktober dan November, Fretilin melakukan pembantaian terhadap sekitar 60.000 penduduk sipil (sebagian besarnya adalah pendukung faksi integrasi dengan Indonesia). Dalam sebuah wawancara pada tanggal 5 April 1977 dengan Sydney Morning Herald, Menteri Luar Negeri Indonesia Adam Malik mengatakan bahwa "jumlah korban tewas berjumlah 50.000 orang atau mungkin 80.000". Tak lama kemudian, kelompok pro-integrasi mendeklarasikan integrasi dengan Indonesia pada 30 November 1975 dan kemudian meminta dukungan Indonesia untuk mengambil alih Timor Leste dari kekuasaan FRETILIN yang berhaluan Komunis.
Ketika pasukan Indonesia mendarat di Timor Leste pada tanggal 7 Desember 1975, FRETILIN didampingi dengan ribuan rakyat mengungsi ke daerah pegunungan untuk untuk melawan tentara Indonesia. Lebih dari 200.000 orang dari penduduk ini kemudian mati di hutan karena pemboman dari udara oleh militer Indonesia serta ada yang mati karena penyakit dan kelaparan. Banyak juga yang mati di kota setelah menyerahkan diri ke tentara Indonesia, namun Tim Palang Merah International yang menangani orang-orang ini tidak mampu menyelamatkan semuanya.
Selain terjadinya korban penduduk sipil di hutan, terjadi juga pembantaian oleh kelompok radikal FRETILIN di hutan terhadap kelompok yang lebih moderat. Sehingga banyak juga tokoh-tokoh FRETILIN yang dibunuh oleh sesama FRETILIN selama di Hutan. Semua cerita ini dikisahkan kembali oleh orang-orang seperti Francisco Xavier do Amaral, Presiden Pertama Timor Lesta yang mendeklarasikan kemerdekaan Timor Leste pada tahun 1975. Seandainya Jenderal Wiranto (pada waktu itu Letnan) tidak menyelamatkan Xavier di lubang tempat dia dipenjarakan oleh FRETILIN di hutan, maka mungkin Xavier tidak bisa lagi jadi Ketua Partai ASDT di Timor Leste Sekarang.
Selain Xavier, ada juga komandan sektor FRETILIN bernama Aquiles yang dinyatakan hilang di hutan (kemungkinan besar dibunuh oleh kelompok radikal FRETILIN). Istri komandan Aquilis sekarang ada di Baucau dan masih terus menanyakan kepada para komandan FRETILIN lain yang memegang kendali di sektor Timur pada waktu itu tentang keberadaan suaminya.
Selama perang saudara di Timor Leste dalam kurun waktu 3 bulan (September-November 1975) dan selama pendudukan Indonesia selama 24 tahun (1975-1999), lebih dari 200.000 orang dinyatakan meninggal (60.000 orang secara resmi mati di tangan FRETILN menurut laporan resmi PBB). Selebihnya mati ditangan Indonesia saat dan sesudah invasi dan adapula yang mati kelaparan atau penyakit. Hasil CAVR menyatakan 183.000 mati di tangan tentara Indonesia karena keracunan bahan kimia dari bom-bom napalm, serta mortir-mortir.
Timor Leste menjadi bagian dari Indonesia tahun 1976 sebagai provinsi ke-27 setelah gubernur jendral Timor Portugis terakhir Mario Lemos Pires melarikan diri dari Dili setelah tidak mampu menguasai keadaan pada saat terjadi perang saudara. Portugal juga gagal dalam proses dekolonisasi di Timor Portugis dan selalu mengklaim Timor Portugis sebagai wilayahnya walaupun meninggalkannya dan tidak pernah diurus dengan baik.
Amerika Serikat dan Australia "merestui" tindakan Indonesia karena takut Timor Leste menjadi kantong komunisme terutama karena kekuatan utama di perang saudara Timor Leste adalah Fretilin yang beraliran Marxis-Komunis. AS dan Australia khawatir akan efek domino meluasnya pengaruh komunisme di Asia Tenggara setelah AS lari terbirit-birit dari Vietnam dengan jatuhnya Saigon atau Ho Chi Minh City.
Namun PBB tidak menyetujui tindakan Indonesia. Setelah referendum yang diadakan pada tanggal 30 Agustus 1999, di bawah perjanjian yang disponsori oleh PBB antara Indonesia dan Portugal, mayoritas penduduk Timor Leste memilih merdeka dari Indonesia. Antara waktu referendum sampai kedatangan pasukan perdamaian PBB pada akhir September 1999, kaum anti-kemerdekaan yang konon didukung Indonesia mengadakan pembantaian balasan besar-besaran, di mana sekitar 1.400 jiwa tewas dan 300.000 dipaksa mengungsi ke Timor barat. Sebagian besar infrastruktur seperti rumah, sistem irigasi, air, sekolah dan listrik hancur. Pada 20 September 1999 pasukan penjaga perdamaian International Force for East Timor (INTERFET) tiba dan mengakhiri hal ini. Pada 20 Mei 2002, Timor Timur diakui secara internasional sebagai negara merdeka dengan nama Timor Leste dengan sokongan luar biasa dari PBB. Ekonomi berubah total setelah PBB mengurangi misinya secara drastis.
Semenjak hari kemerdekaan itu, pemerintah Timor Leste berusaha memutuskan segala hubungan dengan Indonesia antara lain dengan mengadopsi Bahasa Portugis sebagai bahasa resmi dan mendatangkan bahan-bahan kebutuhan pokok dari Australia sebagai "balas budi" atas campur tangan Australia menjelang dan pada saat referendum. Selain itu pemerintah Timor Leste mengubah nama resminya dari Timor Leste menjadi Republica Democratica de Timor Leste dan mengadopsi mata uang dolar AS sebagai mata uang resmi yang mengakibatkan rakyat Timor Leste menjadi lebih krisis lagi dalam hal ekonomi.
2.2 kepemerintahan Portugis Hingga Melepas dari NKRI
Propinsi Daerah Tingkat I Timor-Timur di bentuk tanggal 17 Juli 1976 dengan Undang-undang No 7 tahun1976. Wilayah ini, sebelumnya lebih dari 450 tahun berada di bawah tangan  penjajahan Portugis.
Kedatangan kolonial Portugis tidak sepenuhnya diterima oleh penduduk pribumisetempat. Karena itu, lahir pelbagai reaksi, antara lain dalam perlawanan-perlawanan. 
Salah satu perlawanan terhadap pemerintahan kolonial Portugis yang cukup besardan terorganisasi adalah Perlawanan Viqueque, di samping perlawanan-perlawanan kecil lainnya. Perlawanan-perlawanan ini terjadi karena penduduk pribumimerasa bahwa pembayaran pajak yang dilakukan terlalu banyak menekan mereka, disamping berbagai perlakuan pemerintah Portugis yang dirasakan sangat memberatkandan diskriminatif sebagaimana layaknya setiap
penjajah. Perlawanan ini bermula dari situasi setelah Perang Dunia II, dimana bangsa Indonesia yang berada di bawah penindasan kolonial Belanda menyatakan kemerdekaanya melalui proklamasi tanggal 17 Agustus 1945. Proklamasi Kemerdekaan Indonesia ini tersebar keseluruh dunia, dan sampai juga ke Timor Portugis. Pada tahun 1953, beberapa tokoh Timor Portugis yang telah mendengar kemerdekaan atas diri saudara-saudaranya di Timor Barat (NTT) serta mendengar bahwa Pemerintah RI telah berhasil menyelenggarakan suatu konprensi bangsa-bangsa Asia-Afrika di Bandung tahun 1955, yang melahirkan keputusan mendukung kemerdekaan dari penindasan kolonial bagi setiap bangsa .
Pada ahun 1955 itu sebenarnya  sudah ada rencana pemberontakan dari pemuda-pemuda di Dili. Para pemuda itu lalu menyebar-luaskan rencananya itu ke Kabupaten-kabupaten. Secara perlahan-lahan lahir perasaan nasionalisme di kalangan pemuda Timor Portugis. Pada tahun 1959, semangat untuk melepaskan diri dari kaum kolonial makin kuat. Ini terlihat dari berkembangnya rncana untuk melakukan perjuangan pada akhir tahun 1959. Dukungan terhadap rencana itu semakin luas dan tersebar ke Aileu, Same, Ermera, Baucau dan lain-lain. Untuk merencanakan rencana itu, diadakan pertemuan yang hasilnya memutuskan bahwa pelaksanaan perjuangan ditetapkan pada 42 Desember 1959, bertepatan dengan malam tahun baru. karena menurut analisis para pemuda itu, pada malam tahun baru orang-orang dan tentara Portugis selalu berpesta pora sehinga penjagaannya tidak ketat dan serangan dapat dilakukan.
Walapun pemberontakan itu di rencanakan secara rahasia dan tertutup, dapat tercium juga oleh mata-mata Portugis. Mereka segera melakukan penangkapan terhadap pemuda-pemuda yang dicurigai baik yang berada di kota Dili maupun di Kabupaten-kabupaten. Pemuda-pemuda itu di tangkap, disiksa dan dibunuh serta sebagian dari mereka sekitar 68 orang di buang ke Angola dan Mozambique, daerah jajahan Portugis di Afrika dan sebagian di bawa ke Portugal. Akibat yang paling menyedihkan dari pemberontakan tahun 1959 itu ialah dilakukannya pembunuhan terhadap ratusan rakyat yang dituduh mempunyai hubungan dengan pemberontakan tersebut. Perlawanan rakyat yang di gerakkan dari Viqueque ini merupakan awal dari keinginan rakyat untuk berintegrasi dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia. tuntutan integrasi sebenarnya sudah muncul sejak awal tahun 1950-an. Bahkan pada tanggal 3 Juni 1959, rakyat Timor Portugis, terutama rakyat Kabupaten viqueque bangkit mengangkat senjata melawan penjajah portugis.
 Dengan semangat ingin bersatu dengan Indonesia yang telah merdeka sejak tanggal 17 Agustus 1945, rakyat membusungkan dada dengan mengibarkan bendere merah putih sebagai panji perjuangan. Beberapa tokoh pemberontakan itu seperti Jose Manuel Duarte, Salem Musalam Sagran dan Germano D.A. Silva kini menjadi saksi hidup yang banyak bercerita tentang bagaimana perlawanan terebut, cita-cita intergrasi penderitaan akibat kegagalan perjuangan karena berhasil ditumpas oleh Pemerintahan Portugis. Selain ketiga tokoh tersebut, pada pertengahan januari 1996, ketiga pelaku pergerakan viqueque yang oleh pemerintah Portugis di buang ke Angola dan Portugal 36 tahun yang lalu, telah kembali ke Dili dan menyatakan siap untuk tetap tinggal di Timor-Timur. Ketiga pejuang yang telah kembali tersebut adalah Evaristo Da Costa,
 Armindo Amaral dan Dominggos Soares. Perjuangan mereka gagal karena keterbaasan perlengkapan, kurang strategi, lemahnya organisasi sehingga akhirnya perlawanan tersebut tidak mencapai hasil. Namun peristiwa tersebut adalah bukti sejarah bahwa rakyat Timor Timur pernah bangkit dan menyatakan ingin bersatu dengan Indonesia.   Perjuangan rakyat Timor Timur melepaskan diri dari belenggu penjajahan dan kemudian mendapatkan status sebagai salah satu propinsi di Indonesia, berbeda dengan propinsi-propinsi lainnya. tidak ada dugaan sebelumnya bahwa suasana di Timor Portugis akan mengalami perubahan, jika saja tidak terjadi kudeta militer di Portugal pada tanggal 25 April 1974. Kudeta yang dijuluki  "Flower Revolution" atau "Revolusi Bunga" itu tidak hanya mengguncangkan Portugal, tetapi secara cepat mempengaruhi wilayah-wilayah jajahannya. Salah satu diantaranya adalah Timor Timur. Revolusi bunga itu memberi angin kepada rakyat Timor Timur untuk membentuk organisasi-organisasi kemasyarakatan dan partai-partai politik.  
Peluang ini tidak disia-siakan oleh tokoh-tokoh masyarakat setempat. Kehidupan masyarakat pada masa-masa sebelumnya terbelenggu dengan berbagai keterbatasan, bahkan hubungan antara masyarakat Timor Portugis dengan saudara-saudaranya di Timor bagian barat (Propinsi Nusa Tenggara Timur) tertutup sama sekali. sebab itu pula hampir tidak ada informasi yang berhasil memasuki wilayah Timor Timur. Wilayah ini betul-betul diisolasi oleh portugis. dengan adanya sedikit celah kebebasan, menyusul Revolusi Bunga tersebut, keadaan di Timor Timur segera berubah. dengan cepat diwilayah ini tumbuh dan berkembang beberapa organisasi politik seperti Uniao Democratica Timorense (UDT), Frente Revolucionaria de Timor-Leste Independete (Fretelin) dan Associacao Popular Democratica Timorence (Apodeti).
organisasi Politik yang terakhir ini sebelumnya bernama Associacao Par a Integraco de Timor na Indonesia (AITI), bertujuan memperjuangkan integrasi dengan Indonesia.   Di tingkat politik bilateral, antara Indonesia dan Portugis, sudah sejak bertahun-tahun suasananya dingin. Hal ini disebabkan kegigihan Indonesia mendobrak kolonisasi-kolonisasi yang masih ada di muka bumi melalui forum-forum internasional, dan memutuskan hubungan diplomatik dengan Portugal pada tahun 1964. Karena itu pulalah kunjungan Gubernur Nusa Tenggara Timur El Tari ke Dili, Timor Portugis dari tanggal 28 Februari - 2 Maret 1974 merupakan hal yang istimewa dan membuka linasan sejarah baru. Sesudah kunjungan Gubernur NTT tersebut mendapat sambutan positif dari Gubernur Timor Portugis Fernando Alves Aldeia, hubungan antara kedua daerah mulai sedikit terbuka. Sadar akan perkembangan situasi di Lisabon (Ibu kota Portugal) yang segera dapat membawa dampak di Timor Portugis setelah Revolusi Bunga, Gubernur Timor Portugis bergegas mengutus Mayor Arnao Mitello, kepada staf Angkatan Darat Portugis di Dili menemui Gubernur El Tari di Kupang. Ini terjadi kurang dua bulan setelah El Tari berkunjung ke Dili. Arnao Mitello menjelaskan tentang perubahan politik di Lisabon dan kebijaksaan Pemerintahan Portugal menyangkut koloni-koloni mereka, yang pada garis besarnya dikatakan akan melaksanakan dekolonisasi. 
Sesudah perubahan politik di Lisabon tersebut bermuncululanlah partai-partai politik di Timor Timur dengan mengumumkan keberadaan mereka kepada masyarakat umum, seperti Uniao Democratica Timorense (UDT) pada tangga l 11 Mei 1974. Tokoh-tokoh UDT antara lain Francisco Xavier Lopes da Cruz, Agusto Cesar da Costa Mousinho, Domingos de Oliviera, Joao Carrascalao dan Ir. Mario Viegas Carrascalo. Sesudah itu lahir pula partai kedua yaitu Amisiacao Social Democratica atau ASDT yang kemudian berubah nama menjadi Frente  Revolucionaria de Timor-Leste Independente atau Fretelin pada tanggal 20 Mei 1974, dengan tokoh-tokohnya Francisco Xavier do Amaral, Nicalao Labota, Jose Ramos Horta, Mari Alkatiri. Partai ketiga adalah Associao Popular Democratica de Timor atau Apodeti yang lahir pada tangggal 27 Mei 1974. Berbeda dengan kedua partai yang terdahulu, Apodeti dengan mengatakan tujuannya ingin bergabung dengan Indonesia.
 Tokoh-tokoh partai ini antara lain adalah Arnaldo dos Reis Araujo, Hermenegildo Martins, Jose Fernandio Osorio Soares, Guilherme Maria Goncalves, Alexandrino Borromeu, Casmiro A. dos Reis Araujo dan Jose Antonio Bonifacio dos Reis Araujo. Selain ketiga partai tersebut diatas, masih terdapat dua partai lainnya yaitu Klibur Oan Timor Aswin atau KOTA dibentuk pada tanggak 5 September 1974 dengan Lemos Pedro dos Reis Amaral dan Jose Martins sebagai tokoh pendiri. Sedang partai kelima adalah PARDITO TRABALHISTA yang didirikan pada tanggal 9 Juli 1974 dengan pimpinannya Domingos C. Pereira. Selama bulan-bulan pertama kelahiarannya partai-partai politik ini sibuk mengadakan konsilidasi. Tiga partai di antaranya yakni, UDT, Fretelin, dan Apodeti mengirimkan juga utusan-utusannya ke berbagai negara, khususnya ke negara-negara terdekat seperti Australia dan Indonesia. Ke Indonesia sendiri telah datang Ramos Horta wakil Fretelin dan Francisco Xavier Lopes da Cruz, Ketua Umum UDT. Menanggapi perkembangan ini, pemerintah Indonesia mengumumkan sikapnya pada tanggal 8 Oktober 1974 bahwa Jakarta tidak mempunyai ambisi teritorial. Indonesia menghormati hak rakyat Timor Portugis untuk menentukan nasipnya sendiri dan bila rakyat Timor Portugis ingin bergabung dengan Indonesia, maka penggabungan itu tidak bisa dilakukan atas dua negara, tetapi Timor Timur harus menjadi bagian dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sikap resmi Pemerintah R.I. ini disampaikan kepada pemerintah Portugal di Lisabon oleh utusan Indonesia yang terdiri dari Ali Murtopo, A. Taher (Dubes R.I. di Perancis), dan Frans Seda (Dubes R.I. di Belgia) pada tanggal 14 Oktober 1974.Dalam pertemuan tanggal 14-15 Oktober 1974 di Lisbon tersebut dibahas tentang masa depan Timor Timur. Pemerintah Portugal kemudian mengirimkan utusan balasan ke Jakarta yang dipimpin oleh Dr. Antonio de Almeida Santos (Menteri Seberang Lautan) tanggal 16 Oktober 1974. Santos mengatakan bahwa apapun yang menjadi keinginan rakyat Timor Timur, pemerintah portugis akan menghormatinya. Untuk itu, pemerintah akan menyiapkan undang-undang yang mengatur kepartaian di Timor Timur. Dalam kunjungannya ke Dili setelah dari Jakarta, Dr. Santos menyatakan bahwa sebelum referendum, diadakan pemilihan untuk membentuk "dewan konstituante".
Dewan itulah yang akan menentukan segala sesuatu mengenai referendum. Padahal dewan konstituante tersebut tidak pernah disinggung dalam perundingan dengan Indonesia sewaktu di Jakarta. Ini menandakan bahwa Portugis tidak konsisten dalam masalah dekolonisasi. Bahkan dikatakan bahwa kemerdekaan Timor Timur adalah sesuatu yang tidak realistis dan belum saatnya.   Beberapa kali partai-partai politik tersebut mengadakan perundingan dengan Portugis, namun sejauh itu ternyata tidak membawa hasil. Terutama sesudah pertemuan Macao tanggal 26 Juni 1975, keadaan di Timor Timur semakin tegang dan mencekam. Pertarungan fisik antara ketiga partai politik utama semakin keras dan tidak terhindarkan lagi. Dalam suasana yang semakin tegang dan kacau, Fretelin dan UDT beraliansi dalam wadah koalisi pada tanggal 20 Juni 1975. Akan tetapi koalisi bubar karena kedua partai tersebut terjadi saling kecurigaan dan tidak mempercayai satu sama lain dalam perjuangan. Dengan situasi yang tidak menentu tersebut, UDT melancarkan Gerakan Gerakan Revolusioner Anti Komunis pada tanggal 11 Agustus 1975. gerakan ini gagal karena Fretelin mengadakan perlawanan bahkan berhasil mendesak UDT.
Fretelin mulai melakukan penangkapan, termasuk Raja Atsabe yang adalah tokoh Apodeti, dan rumah-rumah pimpinan UDT di Dili dihancurkan. Situasi semakin memburuk sehingga terjadi pengungsian masyarakat. Arus pengungsi berjejal: semakin meminta perlindungan kepada perwakilan asing di Dili. ada yang melarikan diri ke Australia dan sebagian memasuki wilayah Indonesia terutama Atambua (Propinsi Nusa tenggara Timur) yang semakin lama jumlahnya semakin banyak. keadaan yang kacau ini sama sekali tidak dapat dikuasai oleh pemerintah Portugal, bahkan pagi-pagi tanggal 25 Agustus 1975 Gubernur Portugis Lemos Pires meninggalkan daratan Timor dan menyeberang ke Pulau Atauro. Dari tempat yang baru inilah ia menyeru PBB agar mengirim pasukan Internasional. Pemerintah Portugis sendiri secara meminta Indonesia untuk mengungsikan warga Portugis dan orang asing dari kota Dili. Permintaan ini di penuhi Indonesia dengan mengirimkan KRI Mongingsidi dibawah pimpinan Subiyakto.
Tetapi sementara Subiyakto sibuk menyakinkan pihak yang bersengketa untuk memberi kesempatan mengungsikan penduduk asing dari Dili, tiba-tiba Lemos Pires mengeluarkan perintah yang mencengankan. Ia meminta KRI Monging sidi segera meninggalakan Dili. Tindakan Lemos Pires tidak saja disayangkan Oleh Indonesia tetapi juga mendapat protes keras dari Autralia. bukan hanya orang asing saja yang ketinggalan, bahkan staf konsulat Indonesia di Dili juga tidak sempat naik ke kapal, sehingga mereka terpaksa melaliui jalan darat ke Kupang tanggal 30 Agustus 1975. Memasuki bulan September 1975Fretelin sudah mengambil alih kekuasaan di Timor Timur.
 Pasukan UDT di berbagai tempat di lumpuhkan. Demikian juga tindakan balas dendam semakin menjadi-jadi, tidak saja kepada UDT tetapi juga kepada Apodeti. Arus pengungsi ke wilayah Indonesia semakin berjubel, termasuk juga anggota-anggota UDT, walaupun Lopes da Cruz terus bertahan di sekitar perbatasan Indonesia antara Batugade-Raiikun (NTT). Fretelin yang semakin keras tidak hanya mengejar pengikut-pengikut UDT di wilayah Timor Timur, tetapi juga mengejar para pengungsi ke perbatasan wilayah Indonesia dan bahkan kemudian dalam pengejarannya pasukan fretelin ini melewati perbatasan. Banyak penduduk Indonesia ikut menjadi korban. Dalam keadaan terdesak tersebut, pimpinan UDT mulai reintrospeksi, dan pada awal September 1975 sejumlah tokoh UDT mengadakan pertemuaannya di tempat pengungsian sekitar Maliana.  Mengahadapi keadaan yang semakin memprihatinkan ini, pemerintah Portugis ternyata tidak bisa berbuat apa-apa.
 Bahkan Menteri Negara Portugis Dr Antonio de Almeida Santos yang ditugaskan oleh pemerintahnya untuk melihat situasi Timor Timur dari dekat, tidak pernah melihat keadaan pengungsi-pengungsi Timor Timur atau pun mengadakan pertemuan dengan tokoh-tokoh UDT dan Apodeti. Ia hanya mengadakan pertemuan dengan Fretelin guna pembebasan orang-orang Portugis. Kendatipun demikian, kedatangan Santos kedua kalinya ke Jakarta pada tanggl 11 September 1975 untuk menjelaskan kegagalannya bertemu tokoh-tokoh UDT dan Apodeti diterima oleh Pemerintah Republik Indonesia. Bahkan Jakarta menawarkan kembali agar Santos dapat bertemu dengan pemimpin UDT dan Apodeti sekaligus melihat keadaan pengungsi Timor Timur di Atambua, wilayah R.I. Tetapi tawaran bantuan Pemerintah Indonesia ini ditolak oleh Dr. Santos, dan dari sikapnya itu tercermin bahwa Portugis tidak melakukan usaha yang sungguh-sungguh untuk mendamaikan para pihak yang bersengketa. Portugis hanya ingin menyelamatkan serdadu-serdadunya saja tanpa mengindahkan persoalan-persoalan yang dihadapi pihak lain seperti Indonesia, yang sama sekali tidak ada hubungannya dan hanya menerima akibatnya saja seperti korban jiwa penduduk Indonesia di perbatasan dan biaya yang dikeluarkan untuk membantu para pengungsi tersebut. Sementara pertemuan Indonesia-Portugal berjalan di Jakarta, situasi di Timor Timur terus bergejolak. Fretelin yang merasa berada di atas angin segera mengirim telegram ke berbagai pelosok dunia bahwa mereka sudah menguasai Timor Timur dan memplokamirkan berdirinya Republik Demokrasi Timor pada tanggal 28 November 1975. Untuk membendung kegiatan yang menentang usahanya, Fretelin melakukan penangkapan dan pembunuhan terhadap lawan-lawan politiknya. Antara lain yang menjadi korban pembunuhannya adalah tokoh dan sekretaris Jendral Apodeti Jose Fernando Osorio Soares bersama eman orang lainnya di Same pada tanggal 27 Juni 1976.
 Melihat perkembangan situasi dari Fretelin yang semakin merajalela, tokoh-tokoh UDT mengadakan pertemuan di Maliana. Mereka mulai sadar bahwa Integrasi dengan Negara Kesatuan R.I. adalah jalan keluar yang paling baik bagi masa depan Timor Timur. Konsultasi anrata tokoh UDT, APODETI, KOTA, dan TRABALHISTA menghasilkan kesepakatan untuk memperjuangkan integrasi secara bersama-sama. Sebagai reaksi atas proklamasi sepihak Fretelin, maka gabungan APODETI, UDT, KOTA dan TRABALHISTA menyatakan Deklarasi Balibo sebagai pernyataan rakyat Timor Timur telah berintegrasi dengan Negara Kesatuan R.I. tanggal 30 November 1975 di Balibo Kabupaten Bobonaro. Sikap politik keempat partai politik itu, diiringi pula dengan persiapan pembentukan pasukan gabungan yang direkrut dari para pengungsi yang jumlahnya sekitar 40.000 orang. Demikianlah dari perbatasan, pasukan pengungsi ini kembali ke Timor Timur dan menyerang kedudukan pasukan Fretelin. Mulanya secara bergerilya tetapi kemudian secara frontal.
 Tanggal 3 Oktober 1975 pasukan gabungan ini berhasil menguasai Batugade, sebuah kota kecil dekat perbatasan Timor Timur dengan NTT. Pernyataan atau Proklamasi ini dikeluarkan di Balibo sehingga selanjutnya terkenal dengan Proklamasi Balibo. Setelah proklamasi tersebut, pasukan gabungan keempat partai semakin meningkatkan tekanannya terhadap kedudukan-kedudukan pasukan Fretelin. Sampai awal Desember 1975, pasukan gabungan sudah berhasil mengusai beberapa kota. Fretelin sendiri yang ternyata tidak mendapat tempat di hati rakyat, terpaksa memusatkan pertahanan mereka di kota Dili. Akhirnya kota inipun pada lewat tengah malam 7 Desember 1975 berhasil direbut pasukan gabungan. Pasukan gabungan segera mengeluarkan para tahanan. Salah seorang diantaranya adalah tokoh utama Apodeti Arnaldo dos Reis Araujo. Setelah Dili dikuasai, Fretelin melarikan diri ke gunung-gunung. Sinar cerah wilayah bekas jajahan Portugis ini mulai terlihat. Setelah keadaan sepenuhnya dikuasai, tokoh-tokoh gabungan keempat partai membentuk Pemerintah Sementara Timor Timur (PSTT) yang bersifat Otonom.
 Kemudian di lengkapi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Timor Timur. PSTT dipimpin oleh Arnaldo dos Reis Araujo. Tokoh Apodeti dan wakilnya Francisco Lopes da Cruz ketua UDT, sedangkan DPR Timor Timur diketahui oleh Guilherme Maria Goncalves dari unsur Apodeti.    Pada 31 Mei 1976 Dewan Perwakilan Rakyat Timor Timur mengeluarkan petisi yang isinya Mendesak Pemerintah Indonesia agar dalam waktu yang sesingkat-singkatnya menerima dan mengesahkan bersatunya rakyat serta wilayah Timor Timur ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Seminggu kemudian yaitu tanggal 7 Juni 1976 para pemimpin PST dan DPR Timor Timur menyerahkan petisi rakyat Timor Timur tersebut pada Presiden Republik Indonesia di Jakarta.  Setelah menerima petisi tersebut, maka Pemerintah R.I. membentuk dan mengirimkan delegasi untuk memperoleh gambaran secara secara langsung kehendak rakyak Timor Timur. Setelah mengadakan peninjaun ke berbagai wilayah Timor Timur tanggal 29 Juni 1976, kemudian, pemerintah mengajukan Rancangan Undang-undang tentang Penyatuan Timor Timur ke dalam negara Kesatuan Republik Indonesia kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. pada sidang Pleno DPR-RI secara aklamasi pimpinan dan anggota Dewan menyetujui dan kemudian mengesahkannya dengan Undang-Undang Nomer 7 tahun 1976 tanggal 17 Juli 1976. Dalam Undang-Undang itu dimuat tentang Penyatuan Timor Timur kedalam Negara Kesatuan Republik Indonesia dan sekaligus pembentukan Timor Timor sebagai provinsi ke-27. Secara simbolis Presiden kemudian menyerahkan duplikat bendera pusaka kepada Arnaldo dos Reis Araujo dan Franscico X. Lopes da Cruz, dan salinan teks Proklamasi Republik Indonesia kepada Lopes da Cruz.
Sebagai tindak lanjut dari proses integrasi itu, dikeluarkan Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 1976 yang mengatur status Pemerinta Propinsi Daerah Tingkat I Timor Timur. Sejak ditetepkan sebagai propinsi ke-27, Timor Timur telah dipimpin oleh empat orang Gubernur, yaitu: Arnaldo dos Reis Araujo (1976-1978) sebagai Gubernur KDH Tingkat I yang pertama, Guilherme Maria Goncalves (1978-1982) sebagai GubernurKDH Tingkat kedua, Ir. Mario Viegas carrascalao (1982-1992) sebagai Gubernur KDH Tingkat I yang ketiga, dan Abilio Jose Osorio Soares (1992- 1999), sebagai Gubernur KDH Tingkat I yang keempat.
2.2 Pisahnya Timor Leste dari NKRI
Peristiwa-peristiwa sekitar integrasi Timor Timur dengan Indonesia pada tahun 1976 juga ikut memegang peranan dalam hubungan Australia-Indonesia. Sesudah Portugis meninggalkan bekas daerah jajahannya tersebut di tahun 1975, Angkatan bersenjata Indonesia memasuki Timor Timur pada bulan Desember 1975 dan kawasan ini menjadi satu dengan Republik Indonesia di tahun 1976. Hal ini menyebabkan perdebatan di Australia. Di samping itu, kematian lima wartawan Australia di Timor Timur di tahun 1975 telah menjadi perhatian masyarakat Australia dan media. Namun pada akhirnya Australia mengakui kedaulatan Indonesia atas Timor Timur secara de jure tahun 1979. Namun dinamika politik dalam negeri Indonesia telah berubah secara dramatis dengan jatuhnya Pemerintahan mantan Presiden Soeharto. Pada tanggal 30 Agustus 1999, melalui jajak pendapat, rakyat Timor Timur memilih merdeka (78.5%). Pengumuman hasil pemilihan umum tersebut diikuti dengan kekerasan yang meluas oleh unsur-unsur pro-integrasi. Australia kemudian diminta oleh PBB untuk memimpin kekuatan internasional di Timor Timur atau International Force in East Timor (disingkat INTERFET) dalam menjalankan tugasnya untuk mengembalikan perdamaian dan keamanan di kawasan tersebut. Pada tanggal 20 Oktober, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mencabut keputusan penyatuan Timor Timur dengan Indonesia.
Integrasi Timor Timur 1976
Pada tahun 1975, ketika terjadi Revolusi Bunga di Portugal dan Gubernur terakhir Portugal di Timor Leste, Lemos Pires, tidak mendapatkan jawaban dari Pemerintah Pusat di Portugal untuk mengirimkan bala bantuan ke Timor Leste yang sedang terjadi perang saudara, maka Lemos Pires memerintahkan untuk menarik tentara Portugis yang sedang bertahan di Timor Leste untuk mengevakuasi ke Pulau Kambing atau dikenal dengan Pulau Atauro. Setelah itu FRETILIN menurunkan bendera Portugal dan mendeklarasikan Timor Leste sebagai Republik Demokratik Timor Leste pada tanggal 28 November 1975. Menurut suatu laporan resmi dari PBB, selama berkuasa selama 3 bulan ketika terjadi kevakuman pemerintahan di Timor Leste antara bulan September, Oktober dan November, Fretilin melakukan pembantaian terhadap sekitar 60.000 penduduk sipil (sebagian besarnya wanita dan anak2 karena para suami mereka adalah pendukung faksi integrasi dengan Indonesia). Berdasarkan itulah, kelompok pro-integrasi kemudian mendeklarasikan integrasi dengan Indonesia pada 30 November 1975 dan kemudian meminta dukungan Indonesia untuk mengambil alih Timor Leste dari kekuasaan FRETILIN yang berhaluan Komunis.
Tiga Kuburan Masal sebagai bukti pembantaian FRETILIN terhadap pendukung integrasi terdapat di Kabupaten Aileu (bagian tengah Timor Leste), masing-masing terletak di daerah Saboria, Manutane dan Aisirimoun. Ketika pasukan Indonesia mendarat di Timor Leste pada tanggal 7 Desember 1975, FRETILIN memaksa ribuan rakyat untuk mengungsi ke daerah pegunungan untuk dijadikan tameng hidup atau perisai hidup (human shields) untuk melawan tentara Indonesia. Lebih dari 200.000 orang dari penduduk ini kemudian mati di hutan karena penyakit dan kelaparan. Selain terjadinya korban penduduk sipil di hutan, terjadi juga pembantaian oleh kelompok radikal FRETILIN di hutan terhadap kelompok yang lebih moderat. Sehingga banyak juga tokoh-tokoh FRETILIN yang dibunuh oleh sesama FRETILIN selama di Hutan. Semua cerita ini dikisahkan kembali oleh orang-orang seperti Francisco Xavier do Amaral, Presiden Pertama Timor Leste yang mendeklarasikan kemerdekaan Timor Leste pada tahun 1975. Seandainya Jenderal Wiranto (pada waktu itu Letnan) tidak menyelamatkan Xavier di lubang tempat dia dipenjarakan oleh FRETILIN di hutan, maka mungkin Xavier tidak bisa lagi jadi Ketua Partai ASDT di Timor Leste sekarang.
Selain Xavier, ada juga komandan sektor FRETILIN bernama Aquiles yang dinyatakan hilang di hutan (kemungkinan besar dibunuh oleh kelompok radikal FRETILIN). Istri komandan Aquilis sekarang ada di Baucau dan masih terus menanyakan kepada para komandan FRETILIN lain yang memegang kendali di sektor Timur pada waktu itu tentang keberakaan suaminya. Hal yang sama juga dilakukan oleh kelompok pro-kemerdekaan terhadap tentara Indonesia tentang keberadaan komandan Konis Santana dan Mauhudu yang dinyatakan hilang di tangan tentara Indonesia. Selama perang saudara di Timor Leste dalam kurun waktu 3 bulan (September-November 1975) dan selama pendudukan Indonesia selama 24 tahun (1975-1999), lebih dari 200.000 orang dinyatakan meninggal (60.000 orang secara resmi mati di tangan FRETILN menurut laporan resmi PBB). Selebihnya tidak diketahui apakah semuanya mati kelaparan atau mati di tangan tentara Indonesia. Hasil CAVR menyatakan 183.000 mati di tangan tentara Indonesia karena keracunan bahan kimia (tidak dirinci bagaimana caranya), namun sejarah akan menentukan kebenaran ini, karena keluarga yang sanak saudaranya meninggal di hutan tidak bisa tinggal diam dan kebenaran akan terungkap apakah benar tentara Indonesia yang membunuh sejumlah jiwa ini ataukah sebaliknya. Situasi aktual di Timor Leste akhir-akhir ini adalah cerminan ketidak puasan rakyat bahwa rakyat tidak bisa hidup hanya dari propaganda tapi dari roti dan air. Rakyat tidak bisa hidup dari “makan batu” sebagaimana dipropagandakan FRETILIN selama kampanye Jajak Pendapat tahun 1999 “Lebih baik makan batu tapi merdeka, dari pada makan nasi tapi dengan todongan senjata”. Kenyataan membuktikan bahwa “batu tidak bisa dimakan”, dan rakyat perlu makanan yang layak dimakan manusia.
Insiden Santa Cruz 1992
Benedict Anderson dalam Nasionalisme, Asia Tenggara, dan Dunia (2002) mengatakan, lubang hitam dalam sejarah Indonesia di pulau kecil sebelah utara lepas pantai Australia itu cenderung ditutup-tutupi, termasuk jumlah penduduk Timor Timur yang tewas akibat kelaparan, wabah, dan pertempuran 1977-1979. Padahal, menurut Peter Carey (1995), jumlahnya melebihi angka kematian penduduk Kamboja di bawah Pol Pot.
 Fakta sejarah ini amat jarang diberitakan media Indonesia. Kalaupun ada, media yang memberitakan niscaya akan menemui ajal. Majalah Jakarta-Jakarta, sebagai salah satu media populer, misalnya, menjadi korban pemberitaan tentang Timor Timur tahun 1992.Namun, meski media dimatikan, cerita yang berkisah tentang Insiden Dili, 12 November 1991, masih terbaca sebagai cerpen. Pelajaran Sejarah (Seno Gumira Ajidarma, Saksi Mata, Penerbit Bentang, 1994) yang menjadi fiksi dari peristiwa Santa Cruz itu ditulis oleh wartawan dari media yang terkena “pembredelan” pemerintah saat itu. Bagi sang wartawan, cerpen atau fiksi merupakan cara lain untuk menyajikan berita atau fakta sejarah yang sengaja disembunyikan, bahkan dihilangkan. Maka, sejarah bukan sekadar catatan penyebab kejadian pada masa lalu, tetapi juga demi menyiapkan akibat selanjutnya pada masa kini.
Insiden Santa Cruz (juga dikenal sebagai Pembantaian Santa Cruz) adalah penembakan pemrotes Timor Timur di kuburan Santa Cruz di ibu kota Dili pada 12 November 1991. Para pemrotes, kebanyakan mahasiswa, mengadakan aksi protes mereka terhadap pemerintahan Indonesia pada penguburan rekan mereka, Sebastião Gomes, yang ditembak mati oleh pasukan Indonesia sebulan sebelumnya. Para mahasiswa telah mengantisipasi kedatangan delegasi parlemen dari Portugal, yang masih diakui oleh PBB secara legal sebagai penguasa administrasi Timor Timur. Rencana ini dibatalkan setelah Jakarta keberatan karena hadirnya Jill Joleffe sebagai anggota delegasi itu. Joleffe adalah seorang wartawan Australia yang dipandang mendukung gerakan kemerdekaan Fretilin.
Dalam prosesi pemakaman, para mahasiswa menggelar spanduk untuk penentuan nasib sendiri dan kemerdekaan, menampilkan gambar pemimpin kemerdekaan Xanana Gusmao. Pada saat prosesi tersebut memasuki kuburan, pasukan Indonesia mulai menembak. Dari orang-orang yang berdemonstrasi di kuburan, 271 tewas, 382 terluka, dan 250 menghilang. Salah satu yang meninggal adalah seorang warga Selandia Baru, Kamal Bamadhaj, seorang pelajar ilmu politik dan aktivis HAM berbasis di Australia.
Pembantaian ini disaksikan oleh dua jurnalis Amerika Serikat; Amy Goodman dan Allan Nairn; dan terekam dalam pita video oleh Max Stahl, yang diam-diam membuat rekaman untuk Yorkshire Television di Britania Raya. Para juru kamera berhasil menyelundupkan pita video tersebut ke Australia. Mereka memberikannya kepada seorang wanita Belanda untuk menghindari penangkapan dan penyitaan oleh pihak berwenang Australia, yang telah diinformasikan oleh pihak Indonesia dan melakukan penggeledahan bugil terhadap para juru kamera itu ketika mereka tiba di Darwin. Video tersebut digunakan dalam dokumenter First Tuesday berjudul In Cold Blood: The Massacre of East Timor, ditayangkan di ITV di Britania pada Januari 1992.
Tayangan tersebut kemudian disiarkan ke seluruh dunia, hingga sangat mempermalukan permerintahan Indonesia. Di Portugal dan Australia, yang keduanya memiliki komunitas Timor Timur yang cukup besar, terjadi protes keras. Banyak rakyat Portugal yang menyesali keputusan pemerintah mereka yang praktis telah meninggalkan bekas koloni mereka pada 1975. Mereka terharu oleh siaran yang melukiskan orang-orang yang berseru-seru dan berdoa dalam bahasa Portugis. Demikian pula, banyak orang Australia yang merasa malu karena dukungan pemerintah mereka terhadap rezim Soeharto yang menindas di Indonesia, dan apa yang mereka lihat sebagai pengkhianatan bagi bangsa Timor Timur yang pernah berjuang bersama pasukan Australia melawan Jepang pada Perang Dunia II.
Meskipun hal ini menyebabkan pemerintah Portugal meningkatkan kampanye diplomatik mereka, bagi pemerintah Australia, pembunuhan ini, dalam kata-kata menteri luar negeri Gareth Evans, merupakan ‘suatu penyimpangan’. Pembantaian ini (yang secara halus disebut Insiden Dili oleh pemerintah Indonesia) disamakan dengan Pembantaian Sharpeville di Afrika Selatan pada 1960, yang menyebabkan penembakan mati sejumlah demonstran yang tidak bersenjata,
dan yang menyebabkan rezim apartheid mendapatkan kutukan internasional.
Jajak Pendapat 1999
Munculnya tekanan-tekanan dari masyarakat internasional menanggapi kasus-kasus yang terjadi di timor timur itu memaksa Indonesia untuk mengeluarkan kebijakan guna mengakomodasi aspirasi masyarakat Timor Timur. Tekanan ini juga mendorong Pemerintah Indonesia untuk membahas masalah ini ke tingkat internasional. Akhirnya, pada Juni 1998, Pemerintah Indonesia memutuskan untuk memberikan status khusus berupa otonomi luas kepada Timor Timur. Usulan Indonesia itu disampaikan kepada Sekjen PBB. Sebagai tindak lanjutnya, PBB pun mengadakan pembicaraan segitiga antara Indonesia, Portugal, dan PBB. Selama pembicaraan ini, masih terjadi kerusuhan antara pihak pro kemerdekaan dan pro integrasi di Timor Timur. Kerusuhan ini semakin manambah kecaman dari dari masyarakat internasional, khusunya dari negara-negara Barat, yang merupakan sasaran utama speech act dalam usaha sekuritisasi kasus Timor Timur.
Berangkat dari pembicaraan tiga pihak serta kecaman yang semakin keras dari dunia internasional, Indonesia memutuskan untuk melaksanakan jajak pendapat rakyat Timor Timur dilakukan secara langsung. Menanggapi keputusan Indonesia tersebut, pihak-pihak yang berada dalam pembicaraan segitiga di atas menyepakati Persetujuan New York yang mencakup masalah teknis dan substansi jajak pendapat. Jajak pendapat pun berakhir dengan kemenangan di pihak pro kemerdekaan Timor Timur. Dengan kemenangannya ini, Timor Timur meraih kedaulatan sebagai sebuah negara.Kedaulatan negara merupakan satu hal yang selama ini dikejar oleh pihak Timor Timur. berbagai pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Indonesia, yang dibuktikan oleh Peristiwa Santa Cruz menjadi batu loncatan bagi usaha sekuritisasi perjuangan meraih kembali kedaulatan Timor Timur.
Kunci dari berhasilnya perjuangan meraih kemerdekaan Timor Timur adalah dukungan internasional. Oleh karena itu sekuritisasi menjadi hal yang sangat penting untuk dilakukan oleh Timor Timur. Berbagaispeech act telah dilakukan oleh securitizing actor untuk meraih dukungan internasional. Usaha sekuritisasi ini mencapai keberhasilannya tidak hanya saat Timor Timur merdeka dari Indonesia, namun juga saat sejumlah negara mulai mendukung perjuangan kemerdekaan Timor Timur.
Pada HUT ke-10 The Habibie Center, mantan Presiden BJ Habibie menyatakan Timor Leste tidak pernah masuk Proklamasi RI. Alasannya, karena yang diproklamasikan adalah Hindia Belanda (Kompas, 9/11/2009). Pernyataan ini patut pula kita salami  karena terkait masa lalu Indonesia yang secara historis banyak menyimpan anakronisme yang menyamarkan beragam fakta. Timor Leste adalah contoh. Semula negeri itu dianggap berintegrasi ke NKRI sebagai Timor Timur. Ternyata bekas koloni Portugis itu dianeksasi melalui semacam invasi militer tahun 1975.
Dinamika politik dalam negeri Indonesia telah berubah secara dramatis dengan jatuhnya Pemerintahan mantan Presiden Soeharto. Di bulan Januari 1999, diumumkan bahwa Indonesia akan menawarkan otonomi kepada Timor Timur. Jika rakyat Timor Timur menolak tawaran ini, maka Indonesia akan menerima pemisahan diri Timor Timur dari Republik Indonesia. Pada tanggal 5 Mei 1999, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Indonesia dan Portugis menandatangani Perjanjian Tripartit yang menyatakan bahwa PBB akan menyelenggarakan jajak pendapat di Timor-Timur. Rakyat diminta memilih apakah Timor Timur tetap menjadi bagian dari Indonesia ataukah Timor Timur menjadi negara merdeka. Habibie mengeluarkan pernyataan pertama mengenai isu Timor Timur pada bulan Juni 1998 dimana ia mengajukan tawaran untuk pemberlakuan otonomi seluas-luasnya untuk provinsi Timor Timur. Proposal ini, oleh masyarakat internasional, dilihat sebagai pendekatan baru.
Di akhir 1998, Habibie mengeluarkan kebijakan yang jauh lebih radikal dengan menyatakan bahwa Indonesia akan memberi opsi referendum untuk mencapai solusi final atas masalah Timor Timur.Beberapa pihak meyakini bahwa keputusan radikal itu merupakan akibat dari surat yang dikirim Perdana Menteri Australia John Howard pada bulan Desember 1998 kepada Habibie yang menyebabkan Habibie meninggalkan opsi otonomi luas dan memberi jalan bagi referendum. Akan tetapi, pihak Australia menegaskan bahwa surat tersebut hanya berisi dorongan agar Indonesia mengakui hak menentukan nasib sendiri (right of self-determination) bagi masyarakat Timor Timur.
 Namun, Australia menyarankan bahwa hal tersebut dijalankan sebagaimana yang dilakukan di Kaledonia Baru dimana referendum baru dijalankan setelah dilaksanakannya otonomi luas selama beberapa tahun lamanya. Karena itu, keputusan berpindah dari opsi otonomi luas ke referendum merupakan keputusan pemerintahan Habibie sendiri. Aksi kekerasan yang terjadi sebelum dan setelah referendum kemudian memojokkan pemerintahan Habibie. Legitimasi domestiknya semakin tergerus karena beberapa hal. Pertama, Habibie dianggap tidak mempunyai hak konstitusional untuk memberi opsi referendum di Timor Timur karena ia dianggap sebagai presiden transisional.
Kedua, kebijakan Habibie dalam isu Timor Timur merusakan hubungan saling ketergantungan antara dirinya dan Jenderal Wiranto, panglima TNI pada masa itu. Di hari-hari jatuhnya Suharto dari kursi kepresidenannya, Jenderal Wiranto dilaporkan bersedia mendukung Habibie dengan syarat Habibie mengamankan posisinya sebagai Panglima TNI. Sementara itu, Habibie meminta Wiranto mendukung pencalonan Akbar Tanjung sebagai Ketua Golkar pada bulan Juli 1998. Hal ini cukup sulit bagi Wiranto karena calon lain dalam Kongres Partai Golkar adalah Edi Sudrajat yang didukung oleh Try Sutrisno, kesemuanya adalah mantan senior Jenderal Wiranto. Namun Wiranto tidak memiliki pilihan lain dan menginstruksikan semua pimpinan TNI di daerah untuk mendorong semua ketua Golkar di daerah untuk memilih Akbar Tanjung.
Habibie kehilangan legitimasi baik dimata masyarakat internasional maupun domestik. Di mata internasional, ia dinilai gagal mengontrol TNI, yang dalam pernyataan-pernyataannya mendukung langkah presiden Habibie menawarkan refendum, namun di lapangan mendukung milisi pro integrasi yang berujung pada tindakan kekerasan di Timor Timur setelah referendum.
Di mata publik domestik, Habibie juga harus menghadapi menguatnya sentimen nasionalis, terutama ketika akhirnya pasukan penjaga perdamaian yang dipimpin Australia masuk ke Timor Timur. Sebagai akibatnya, peluang Habibie untuk memenangi pemilihan presiden pada bulan September 1999 hilang. Sebaliknya, citra TNI sebagai penjaga kedaulatan territorial kembali menguat. Padahal sebelumnya peran politik TNI menjadi sasaran kritik kekuatan pro demokrasi segera setelah jatuhnya Suharto pada bulan Mei 1998.
Tanggal 30 Agustus merupakan tanggal yang sangat sakral dalam dinamika perpolitikan Negara yang seumur jagung ini. Pada hari itu diadakan jajak pendapat di Timor Leste (pada saat itu masih bernama Timor Timur). Jajak pendapat inilah yang nantinya berujung pada kemerdekaan (bekas) provinsiTimor Timur ini. Pada akhirnya, hasil jajak pendapat tersebutlah yang dapat menjawab nasib rakyat Timor Leste selanjutnya. Sebagian besar rakyat Timor Timur lebih memilih untuk merdeka (78.5%). Pengumuman hasil pemilihan umum tersebut diikuti dengan kekerasan yang meluas oleh unsur-unsur pro-integrasi.
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa pada akhirnya, pasukan Australia lah yang menjadi pahlawan dalam kasus ini. Australia telah memperhitungkan semua ini secara cermat dan tepat. Australia memainkan peranan pokok dalam memobilisasi tanggapan internasional terhadap krisis kemanusiaan yang membayang nyata. Pasukan penjaga perdamaian yang dipimpin Australia masuk ke Timor Timur. Jakarta menyetujui keterlibatan angkatan internasional pemilihara keamanan di kawasan ini. Australia diminta oleh PBB untuk memimpin angkatan tersebut, dan menerima tugas ini. Kekuatan internasional di Timor Timur atau International Force in East Timor (disingkat INTERFET) telah berhasil dikirim ke Timor Timur dan menjalankan tugasnya untuk mengembalikan perdamaian dan keamanan di kawasan tersebut. Pada tanggal 20 Oktober, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mencabut keputusan penyatuan Timor Timur dengan Indonesia.
Terkait hal ini, SBY pernah menyatakan bahwa hasil jajak pendapat di Timor Timur pada 1999, merupakan buah dari reformasi di Indonesia. Sebagaimana negara Indonesia mengakui Timor Leste yang merdeka, MPR saat itu pada 1999 mengakui hasil jajak pendapat tersebut.
Sejak awal 2000, kedua pemerintahan pemerintahan mencari pemecahan masa lalu, yang terjadi menjelang, selama, dan segera setelah jajak pendapat. Pertama melalui pendekatan hukum dan cara kedua melalui pendekatan kebenaran dan persahabatan yang tidak berujung pada peradilan. Kedua pemerintahan sepakat untuk menempuh yang kedua melalui Komisi Kebenaran dan Persahabatan. Juga harus diketahui, adalah presiden, waktu itu Menteri Luar Negeri Horta dan Xanana, yang menganjurkan kepada pemerintah Indonesia memilih kata persahabatan karena rekonsiliasi sesungguhnya telah terjadi.